Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur tidak akan mengeluarkan Ikhbar (pemberitahuan awal bulan Syawal) kepada warga Nahdliyyin sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
“NU Jatim tidak akan mengeluarkan Ikhbar. Hanya Pengurus Besar (PBNU) saja yang melakukannya,” kata H Masyhudi Muchtar, Sekretaris PWNU Jatim kepada NU Online di Surabaya, Ahad (7/10).<>
Padahal sejak bertahun-tahun yang lalu, NU Jatim telah melakukannya secara rutin. Malahan Ikhbar dari Jatim selalu dijadikan pedoman utama penetapan (itsbat) awal bulan di Jakarta, baik oleh PBNU maupun Sidang Isbat Departemen Agama.
Hal itu dimungkinkan, karena setiap menjelang tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal, NU Jatim selalu melakukan rukyat di 11 tempat strategis. Sementara para pengambil keputusan (unsur Syuriah, Tanfidziyah dan Ketua Lajnah Falakiyah) selalu setia menunggu di Kantor PWNU. Setiap ada laporan masuk dari lokasi rukyat, keputusan resmi bisa cepat diambil.
Langkah tidak mengeluarkan Ikhbar ditempuh karena pada tahun yang lalu sikap itu menjadi sebab salah persepsi. Sampai akhirnya, NU Jatim dan PBNU lebaran berbeda hari. Mungkin baru kali itu PWNU dan PBNU lebaran berbeda sepanjang perjalanan sejarahnya.
Menurut Masyhudi, saat itu, sebagaimana biasanya, PWNU mengirim laporan hasil rukyatul hilal kepada PBNU dan Departemen Agama, namun laporan PWNU waktu itu tidak bisa diterima dengan alasan tertertu sebagaimana dalam disiplin ilmu falakiyah.
Sementara PWNU Jatim karena yakin rukyatul hilal yang berhasil dilaksanakan telah memenuhi persyaratan dan para perukyat sudah lebih dulu disumpah oleh hakim pengadilan agama setempat akhirnya berlebaran lebih awal.
Masyhudi meyakinkan sepenuhnya bahwa peristiwa tahun lalu itu murni kesalahpahaman. Tidak ada unsur politik di dalamnya. Apalagi merasa sederajat dengan PBNU. Sebab NU Jatim melakukan Ikhbar itu sudah rutin, sejak 15 tahun silam.
Untuk tahun ini, alumnus Pesantren Tebuireng itu sangat berharap agar tidak lagi ada perbedaan hari raya antara PWNU dan PBNU. Peristiwa tahun lalu adalah pelajaran yang sangat berharga dan harus terjadi hanya sekali karena menyangkut kepentingan banyak umat banyak.
Di sisi lain, ia sangat mengharapkan, agar para pengambil keputusan di PBNU berada di tempat dan bisa dihubungi pada saat-saat paling menentukan itu. “Terutama para ru’asak (pimpinan),” Masyhudi berharap.
Menurut Masyhudi, dalam menentukan keputusan hari raya yang berlaku di kalangan NU, tidak bisa hanya diserahkan pada falaki (ahli falak). Tapi juga harus didukung dengan fiqhi (hukum Islam) dan ijtima’i (kemasyarakatan). “Kalau mereka stand by di kantor, kan bisa cepat nantinya,” tuturnya.
Masyhudi berandai-andai, jika nantinya laporan dari PWNU tidak disambut dengan baik di PBNU, pihaknya tetap diam menunggu. Tidak melakukan Ikhbar sendiri. Namun kalau ada kiai NU yang merasa yakin dengan kesaksian melihat bulan, lalu berlebaran lebih dulu, pihaknya tidak melarang. Itu dinilai sebagai hak pribadi.(sbh)