Tangerang, NU Online
Modernisasi dan westernisasi di seluruh aspek kehidupan yang diterapkan selama Orde Baru membuat ideologi nasional mengalami kekaburan. Salah satunya adalah kaburnya ideologi seni dan kebudayaan.
Para seniman NU perlu memperjelas kembali ideologi dalam berkesenian. Paradigma “seni untuk seni” yang diusung oleh para seniman liberal dinilai menjadikan seni tak bernilai dan tanpa tujuan. Demikian Wowok Hesti Brabowo, anggota Pengurus Pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) kepada NU Online di Tangerang, Rabu (122/8).
Menu<>rut Wowok yang juga ketua yayasan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), sejak Orde Baru berkuasa, hanya tinggal satu kebudayaan yang dibolehkan yaitu kebudayaan yang sesuai dengan ideologi pembangunan dan westernisasi. Seni kemudian kehilangan daya kritisnya, menjadilah seni tanpa ideologi astu biasa disebut “seni untuk seni”.
Pada mulanya, semboyan “seni untuk seni” itu diperkenalkan oleh kelompok seniman Manikebu (manifesto kebudayaan), yaitu kelompok seniman liberal yang menolak seni untuk tujuan lain di luar seni.
Sementara baik NU, waktu itu, menggunakan seni budaya sebagai sarana dakwah dan perjuangan. Ketika Orde Baru makin berjaya, hanya pandangan Manikebu yang dibolehkan sementara pandagan lain, termasuk pandangan NU yang diwakili oleh Lesbumi dipinggirkan. “Jadinya lahirlah seni-seni yang tak bermutu, hanya mengabdi pada selera pasar,” kata Wowok,
Pandangan seperti itu, lanjut Wowok, sangat berbahaya terutama karena ketika telah mengaburkan bahkan mengacuhkan anjuran moral agama.
“Bayangkan anak muda NU dari pesantren karena tidak tahu lagi ideologi kebudayaan NU dengan enaknya masuk ke Teater Utan Kayu (TUK) atau dari jauh mengikuti kredo kesenian mereka. Maka jadilah mereka seniman liberal yang menggunakan seni untuk mengumbar nafsu, pornografi dan sebagaimainya atas nama kreativitas dan kebebasan. Mereka mengira satu-satunya bentuk berkesenian hanya semacam ini, karena pandangan liberal itu telah begitu hegemonic,” kata Wowok.
Di sisi lain, yang bertolak belakang, beberapa seniman muda NU dengan gampangnya terpengaruh gerakan seniman fundamentalis yang begitu gampang mengesploitasi ayat Al-Qur’an secara verbal tanpa refleksi. Islam difahami secara dangkal bahkan kasar sebagaimana yang mereka ekspresikan dalam berbagai drama dan sinetron.
Menurut Wowok, hal itu tentu merusak citra Islam yang “serba-dalam” dan bernilai tinggi, baik secara nilai spiritual maupun nilai estetika
“Para seniman NU perlu kembali merapatkan barisa ke Lesbumi, agar seniman tidak terjebak pada liberalisme ala TUK yang merupakan penjelmaan dari Manikebu, atau fundamentalisme ala kelompok Usroh,” katanya.
Kreativitas dalam berkesenian jangan sampai terganggu. Selera rendahan itu membuat orang malas berkreasi, malas bereksperimen. “Coba lihat mereka yang mengumbar kebebasan itu tidak beranjak karya santranya dari selangkangan sampai dada. Sementara mengabaikan jutaaan rakyat misklin yang menderita baik secara fisik maupun rohani!”
Wowok juga menyesalkan kalangan santri pesantren yang terkecoh oleh kredo sastra liberal, sehingga membeber kehidupan dalam pesantren ke publik yang itu sama dengan menepuk air di dulang, dan membuka aib pesantren. Ini tinddakan gegabah bagi seniman tanggung yang tergoda oleh liberalisme murahan.
NU adalah organisasi yang berasaskan ahlusunnah wal jamaah yang bertujuan menegakkan akhlakul karimah. Maka kalangan seniman NU tidak bisa melepaskan dari tugas ini. Ditambah lagi, bahwa NU menghormasi keindonesiaan, kenusantaraan dan kebangsaan. Para seniman juga harus mebela kepentingan bangsa dan negara bila mengalami keterancaman seperti sekarang ini.
“Jadi berkesenian bagi kamunitas nahdliyin tidak seperti kelompok liberal yang mengartikan kebebasan adalah kebebasan mengumbar nafsu, tetapi tidak bebas memilih tema yang lain, sehingga kreativitasnya mandek. Sebaliknya kebebasan bagi seniman NU haruslah diartikan sebagai kebebasan mengembangkan kreativitas yang bertujuan membela agama, bangsa dan moral umat manusia,” katanya.(dam)