Survei: Sebagian Guru Agama Islam di Jawa Belum Bisa Ajarkan Pluralisme
Rabu, 26 November 2008 | 01:30 WIB
Sebagian besar atau 62 persen guru-guru agama Islam sekolah umum di Jawa menolak orang nonmuslim menjadi pemimpin publik. Sebagian dari mereka juga tidak toleran, antipluralitas dan belum bisa mengajarkan paham keberagaman atau pluralisme.
Demikian hasil survei Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sebagaimana dikatakan Direktur lembaga tersebut, Jajat Burhanudin, di Galeri Lontar, Jalan HOS Cokroaminto, Jakarta, Selasa (24/11).<>
"Para guru masih belum bisa mengajarkan pluralitas dan sikap toleran. Padahal, sikap dan pandangan Islam, guru agama harus mendukung dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam," katanya.
Mengenai penolakan terhadap pemimpin nonmuslim menjadi pemimpin, menurut Jajat, terjadi mulai dari pemilihan kepala sekolah hingga pemilihan umum legislatif.
Hasil survei lembaganya, para guru yang mengajar di sekolah umum tersebut, 68 persen responden menolak nonmuslim menjadi kepala sekolah dan 30 persen responden mendukung Pemilu hanya untuk memilih wakil rakyat yang memperjuangkan syariat Islam.
Survei dilakukan terhadap 500 guru di 500 SMA/SMK di Jawa selama kurun Oktober 2008. Responden dipilih dengan menggunakam metode acak sederhana. Juga melalui wawaancara terstruktur terhadaap 200 siswa di 50 kota/kabupaten. "Metode simple random sampling yang kami gunakan memiliki margin error lebih kurang 5 persen," ujarnya.
Sikap tidak toleran dalam beragama juga bisa dilihat 21 persen responden mengaku orang yang keluar dari agama Islam harus dibunuh. Selain itu, 79 persen guru melarang anak didiknya mempelajari agama non-Islam.
"Yang lebih memprihatinkan, 75 persen guru mengajarkan siswa muslim untuk mengajak nonmuslim mempelajari Islam. Ini menunjukkan sikap beragama yang eksklusif tidak hanya berlaku di sekolah, " tuturnya.
Pemilihan corak geografis sekolah memperhatikan corak geografis pada umumnya SMA/SMK di Jawa. Yaitu 41 persen guru SMA di kotamadya, 25 persen guru SMA di kabupaten dan 28 persen guru SMA/SMK di kecamatan. "Sisanya yang 5 persen merupakan guru SMA/SMK di pedesaan," pungkasnya. (dtc/rif)