Wawancara

Kanisius Bertahan Terbitkan Buku di Tengah Pembaca Digital

Selasa, 24 April 2018 | 15:00 WIB

Mahasiswa atau mahasiswi di semester awal, mungkin akan dianjurkan dosen filsafat untuk memiliki Buku Sejarah Filsafat Yunani karangan K. Bertens. Buku itu menjadi semacam salah satu buku wajib mata kuliah tersebut. Jika diperhatikan dilihat di jilidnya, maka buku itu dicetak penerbit Kanisius. 

Kanisius merupakan salah satu penerbit yang masih bertahan dalam format buku cetak. Bukan main, tahun ini, penerbit itu berusia 96. Sebuah capaian apresiasi yang mesti mendapat apresiasi karena dilakukan oleh pihak swasta. 
 
Selam 96 tahun, penerbit itu telah menerbitkan ratusan ribu buku. Dan hingga kini masih menerbitakan ratusan buku tiap bulan. Padahal pembaca umumnya hari ini tengah hijrah ke dunia digital.  

Bagaimana penerbit tersebut bisa bertahan hingga kini? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai Direktur Penerbit Kanisius Yogyakarta Romo Azis Mardopo SJ di Gedung PBNU, Jakarta, 10 April lalu, selepas bedah buku NU Penjaga NKRI yang diterbitkan Kanisius. Berikut ini petikannya: 

Pada awalnya didasarkan pada visi misi kita mencerdaskan bangsa lewat perbukuan, lewat percetakan. Penerbitan itu buku. Dunia perbukuan itu kan mencerdaskan, supaya orang membaca, tetap pada konsistensi pada itu, membuat orang membaca, kita menyediakan buku-buku bacaan. Supaya orang membaca buku berkualitas, kita siapkan buku-buku bacaan yang berkualitas. Itu saja, bertahan. 

Serugi apa pun, dan sepahit apa pun, Kanisius akan melakukannya?

Iya. Bahkan, kalau kita berpikir soal pasar, soal dagangan, pasti tidak akan banyak menghasilkan keuntungan. Keuntunganya adalah supaya orang membaca, akrab sdengan membaca literasi, di situ konsistensinya. 

Belakangan ini sebetulnya rugi atau tidak?

Iy, jadi, rugi itu kan, apalagi sekarang budayanya jangankan ngomong bajet ya, yang namanya buku print sekarang mulai tergilas dengan digital. Tapi kenapa kami bertahan, masalahnya adalah sejauh orang itu suku dunia digital, lebih pada mode, ketika orang pakai digital itu akan lelah. Tapi ketika orang membuka buku, mungkin dia lelah, akan tutup buku, besok dibuka lagi, bisa dicoret-coret, bisa ditandai. Itu salah satu yang kita cermati.

Budaya itu apakah masih akan tetap bertahan? 

Saya kira iya. Selama orang masih punya mata pasti akan mencari informasi dengan membaca. 

Meskipun volumenya semakin berkurang? 

Iya. Sekarang kan target volumnye itu dunia membaca melalui buku, semakin lama semakin fifty-fifty, kaykanya ada unsur kejenuhan untuk melihat digital kan. Lelah gitu. Kita akan tetap mencoba bertahan pada buku. 

Ada arah atau bagian yang menuju digital? 

Memang harus dicermati sebagai kiat, tapi tidak lalu kita akan mengubah konsep digital itu.

Ada memperbarui diri dalam kemasan? 

Oh iya. Orang tidak suka lagi membaca buku tebal. Padahal isinya bagus. Nah, sekrang itu disiasati dengan buku kecil-kecil. Satu buku tebal, bisa dijadikan empat. Dan dari sisi kertasnya pun. 

Kanisius pernah memikirkan dibagi dua misalnya mengonlinekan buku cetak?

Oh iya, iya. 

Sejak kapan? 

Empat atau lima tahun yang lalu karena itu ada pangsanya. Dari sisi itung-itungan, masih kecil. 

Dari sejak pertama kali didirikan, arsip seluruh buku masih ada? 

Ada, ada itu.

Berapa jumlahnya? 

Ratusan ribu. Kanisius pernah mencetak Oeang Republik Indonesia, ORI. 

Kalau rugi, ada subsisi silang?

Kita punya tiga pilar ya, penerbitan, percetakan, dan perdagangan, dari tiga pilar inilah saling menunang. Kalau bukunya sedang berat, ditopang dengan percetakan. Kita tidak hanya mencetak buku tapi liflet, alkitab, lalu perdagangan kita menjual barang-barang juga. 

Kalau buku sebetulnya masuk ke dalam kualitas yang mencerdaskan bangsa?

Saya kira bukan karena pengarangnya. Banyak manuskrip yang datang ke kami, seleksi. Kalau sesuai dengan visi misi kanisius, kami pertimbangkan. Kalau sama sekali tidak, apalagi kalau berkaitan dengan disintegrasi bangsa, jadi buku-buku yang sensasi-sensasi itu kami screening, buku pelajaran, lalu buku-buku doa, liturgi, novel. 

Buku yang fenomenal sepanjang 96 tahun? 

Biasanya buku nonpelajaran, filsafat ada, teologi ada, ekonomi, Pancasila, NKRI dan Pancasila, buku kami laris sekali. Bahkan jadi semacam buku pegangan untuk studi, untuk kuliah. 

Seperti Mohammad Hatta yang Pengantar Filsafat? 

Iya. 

Per bulan saat ini berapa buku yang terbit? 

Naskah yang kami dapat setiap bulan itu sekitar 300 nashkah dari aneka pengarang, lalu kami seleksi. 

Yang biasanya terbit berapa?

Biasanya sekitar 100, 150 per bulan. Artinya, prospek perbukuan, orang membaca, itu masih bisa, masih terbuka. 

Namun, sayangnya masih kecil dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia, bukan? 

Ya, karena kita masih terkooptasi dengan masyarakat Indonesia literet, budaya membacanya tidak sebesar dengan budaya melihat. 

Kenapa? 

Mungkin, apalagi sekarang, orang lebih suka melihat sesuatu dengan dunia membaca. Budaya instan, melihat gambar asal bagus, lebih laris daripada lautan kata-kata. Kita juga mengemas, selain juga lautan kata-kata, disisipkan gambar-gambar dalam menyusun buku, ilustrasi-ilustrasi. 

Budaya baca masyarakat kita masih rendah, faktor apa sebenarnya? 

Saya melihat ini karena sistem pendidikan. Sekolah itu kan menurut saya hanya empat mata pelajaran yang diujikan. Padahal mata pelajaran lain kan banyak. Tapi yang diujikan hanya empat. Nah, yang banyak itu diabaikan. Padahal sastra ada di situ. 

Oh ya, kenapa mau menerbitkan NU Penjaga NKRI? 

Kami melihat peran NU di berbagai macam ranah dan kami tergerak untuk mencoba ikut serta di situ. Salah satuny dengan buku NU. 

Bergerak bagaimana? 

Di berbagai situasi, NU selalu di depan untuk membela, di berbagai konflik-konflik, NU selalu tampil untuk rekonsiliasi, ada mengahadapi langsung. Nah, kami yang bukan NU kan kagum. Apa yang bisa kita buat untuk NU. Kebetulan hari ulang tahun, sebagai kado. Kami mengajak untuk buku yang kedua.


Terkait