Wawancara

Hasyim: Susah Cari Pemimpin yang Bisa Dipercaya

Kamis, 18 Desember 2008 | 06:44 WIB

Perbincangan politik mulai memanas menjelang tahun 2009. Berbagai fihak terus berupaya menggalang koalisi guna mendapatkan dukungan guna meraih kekuasaan. NU sebagai kekuatan riil dalam masyarakat juga diperhitungkan, termasuk ajakan untuk menggalang koalisi Poros Tengah Jilid II, dengan harapan mendulang kesuksesan Poros Tengah I yang berhasil menggolkan Gus Dur sebagai presiden.

Lalu, bagaimana PBNU mensikapi perkembangan politik akhir-akhir ini, berikut wawancara NU Online dengan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada pertengahan Desember lalu di kantornya, Gedung PBNU, Lt 3.
<>
Bagaimana pendapat Abah tentang wacana Poros Tengah Jilid II ini?

Kalau polarisasi per ormas, itu gampang pecah, lebih baik polarisasi umatnya saja, Jadi tidak usah diformalkan dari ormas karena rawan pecah dan rawan alienasi. Siapa loe, siapa gue itu muncul.

Sekarang kalau memang mau bersatu carilah figur yang bisa diterima semuanya, dengan tema yang bisa diterima semuanya, langsung umat yang mendukung. Tidak perlu polarisasi ormas karena ormas kadernya tersebar dimana-mana. Saat ini setiap ujung Indonesia, Muhammadiyah-kan ada, NU juga demikian. Porarisasi juga tidak akan tembus ke ummatnya,

Figur yang akan diusung harus memiliki lekatan amanat dan kedekatan visioner dengan ummatnya secara utuh, tidak berdasarkan formalitas saja, dari situ ia akan mendapatkan suara banyak.

Permasalahannya apa dengan figur yang ada sekarang ini?

Figur yang langkahnya untuk kepentingan ummat secara keseluruhan dan trust atau kepercayaan yang sulit didapat. Kadang orang mengemukakan programnya, orang tidak percaya.

Jadi sejauh ini belum ada calon pemimpin alternatif?

Belum nampak. Bahwa itu bisa dibicarakan sesama tokoh Islam oke-oke saja, tetapi kalau polarisasinya ormas, itu malah sulit. Karena kader ormas kadung tersebar. Semua partai kan ada caleg NU-nya, demikian juga di Muhammadiyah.

Dikotomi Nasionalis dan Muslim masih perlu seperti yang terjadi di masa lalu?

Tak perlu, programnya saja, program yang bisa diterima semua ummat. Kan faktor trust itu yang repot. Trust ini bukan soal ormas, tapi soal orang. Wong sesama satu ormas saja saling tidak trust. Masuk akal nga?  Itu kalau kita berfikir realistis, kalau idealistik ya monggo mawon.

Ketika ormas dimasuki oleh semua partai, peran ormas paling idealnya dimana?

Sebetulnya bukan ormas, tetapi peran partai dalam meyakinkan sebagian dari anggota ormas. Kalau ormasnya sudah tidak berperan, misalnya NU sudah tidak menyuruh calegnya yang Hanura atau PKB, tapi bagaimana partai membangun trust.

Apalagi sekarang orang sudah bertambah pinter, bukan karena cerdas, karena sering ditipu sehingga lama-lama pinter.

Situasi seperti ini, ormas kembali ke peran sosial keagamaan?

Saya kira ini yang terbaik. Ketika pimpinan ormas menyuruh anggota kelompoknya untuk mencoblos suatu partai, ini juga masih tergantung seberapa trust kepada pemimpinnya.

Di dalam sebuah ormas juga banyak tokoh dengan tingkat trust yang berbeda-beda. Saat ini, kalau seorang ketua ormas bisa ngomong sama anggotanya dapat 80 persen sudah bagus, ini karena adanya kebebasan dan beragamnya kepentingan. Saya realistis saja.

Jadi pemimpin yang didengan dan ditaati, itu sulit seperti yang diidealkan dalam Qur’an, umat yang mau mendengar apa yang dikatakan pemimpinnya dan mau memilah-milah apa yang baik dan tidak. Lha posisi umat sudah tidak di situ karena hubungan timbal balik yang sudah tidak ada.

Turunnya kepercayaan ini ummat terhadap pemimpin ini apa disebabkan infiltrasi politisi ke dalam ormas?

Banyak faktornya, ada yang karena pemimpin sendiri, ada faktor ummatnya, ada faktor politiknya. Faktor pemimpin adalah kaliber dari pemimpin itu, atau tingkat keamanatannya. Kalau dari umatnya, karena ormas memberi kebebasan sehingga umat memiliki banyak sekali alternatif. Juga dikalangan umat kepentingannya sudah parsial, apa yang mikir kemiskinannya, ada yang mikir pondoknya, ada yang mikir kepentingan pribadinya.

Kondisi sekarang kondisi demokratisasi yang cenderung individual. Ini membuat masyarakat menjadi patembayan, bukan paguyuban. Ini juga faktor. Jadi ketika mau dikendalikan, benturannya jadi banyak. Sekarang ada ormas yang mau mengkonsolidasikan anggota ormasnya untuk satu titik kekuasaan. Ada satu tokoh ormas yang membuat partai, berteriak yang lain kan, beda kepentingan dan beda jalur.

Di Muhammadiyah ada PAN ada PMB, di NU ada PKB, PKNU, PPP, yang tokoh-tokohnya juga tokoh NU yang masing-masing juga memiliki dukungan trust pada kelompoknya, dan itu juga tidak gampang diterpedo oleh pimpinan ormasnya. (mkf)


Terkait