Wawancara

Ki Dalang Cahyo Kuntadi: Kembalilah ke Jatidiri Kalimasada

Sabtu, 5 Mei 2018 | 12:32 WIB

Wayang yang bernuansa Islam selalu merujuk kreativitas dari Wali Songo, terutama Kanjenga Sunan Kalijaga sebagai upaya menyebarkan agama ke masyarakat Jawa. Dengan demikian, kesenian ini sangat dekat dengan pesantren. Namun, belakangan ini, jarang sekali pesantren yang nanggap wayangan. 

NU, sebagai ormas yang berbasi pesantren berupaya meraih dan memperkuat kembali hubungan wayang dan pesantren. Hal ini sebagaimana sering diungkapkan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di berbagai kesempatan, adalah upaya menjadi budaya sebagai infrastruktur agama. Juga sebagai aplikasi dari tema besar yang diusung NU, Islam Nusantara. 

Bukan sekali ini, NU nanggap wayang, Ki Enthus Susmono beberapa kali tampil di halaman Gedung PBNU dan acara munas dan konbes, serta muktamar. Juga dalang Sujiwo Tedjo. 

Pada peringatan Harlah ke-95 NU dengan tema Menuju Satu Abad NU Memperkokoh Ukhuwah Wathaniyah untuk Indonesia yang Lebih Sejahtera PBNU menggelar pertunjukan wayang kulit di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/4/2018) dengan dalang Ki Cahyo Kuntadi. Bagaimana kesan ki dalang mentas atas undangan PBNU, bagaimana kreativitas dia, dan masa depan wayang Indonesia. Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarainya. Berikut petikannya: 

Bagaimana kesan diundang pentas wayang pada harlah NU tahun ini oleh PBNU?

Pada dasarnya, kami satu kru wayang itu, mendapat undangan PBNU untuk mengisi harlah ke-95 itu sebuah penghormatan, penghargaan yang sangat istimewa dan luar biasa bagi kami. Begitu. Karena ya, dari sudut pandang kami sendiri, Nahdlaltul Ulama adalah salah satu organisasi Islam yang peduli dan mau merawat mengembangkan, menjaga selain NKRI dan juga kebudayaannya, termasuk wayang. 

Kenapa mengambil tema Kalimassada? Apa itu pesanan PBNU? 

Itu bukan pesanan, tapi kesepakatan untuk mengambil cerita Kalimussada. Lha, kenapa diambil cerita Kalimussada? Diartikan atau bisa dimaknai kalima itu lima. Sada itu obat. Artinya ada lima hal untuk mencari kententraman atau dan kedamaian di Nusantara di Indonesia. lima itu bisa diartikan Pancasila untuk NKRI. Untuk Islam itu bisa diartikan rukun Islam. Lha ketika seperti pertunjukkan kemarin itu, ketika orang Amarta kehilangan jatidiri yang ada di Kalimasada, maka yang terjadi adalah kerusuhan, permusuhan, arogan, dan adu domba. Ketika di ending cerita itu, Pandawa bisa menemukan kembali Kalimasada, isi dari kalima sada itu, tidak hanya dihormati, tidak hanya dihafalakan, tapi benar-benar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Kalau itu dikaitkan dengan berbangsa dan bernegara saat ini, jika warganya meninggalkan Pancasila dan umat Islam meninggalkan rukun Islam berarti akan terjadi kerusuhan?

Iya betul. Akan terjadi fenomena yang sangat luar biasa seperti kerusuhan, adu domba, peperangan, yang intinya tidak akan tercapai ketentraman lahir dan batin, dunia dan akhir. 

Nah, upaya Amarta melalui Pandawa untuk menapatakan kembali Kalimasada itu bagaimana? 

Awalnya permasalahnnya kalima sada hilang, yang pertama yang harus dilakukan Pandawa, Kalimasada ini harus ditemukan dulu. Nah, kalau sudah ketemu, bisa diboyong lagi ke Amarta. Kedua, Pandawa sebagai pejabat negara, sebagai pusat pemerintahan di Amarta, harus memberi contoh terlebih dahulu, hal-hal yang ada dalam Kalimasada itu. Jadi, sebelum memerintahkan masyarakatnya, sebagai pimpinan negara, Pandawa itu harus memberi contoh yang baik dengan Kalimsada itu. 

Setelah pandawa bisa menerapkan Kalima Sada dalam kehidupan sehari-hari, baru mengajak para masyarakat amarta untuk mengamalkan isi yang terdapat dalam Kalimasada tersebut. Insyaalah kalau semua kalau sudah kembali ke jatidiri Kalimasada, yang ada adalah perdamaian dan ketentraman di Amarta. Semua elemen ya, dari pemerintahan, masyarakat, harus bisa menjadi contoh-contoh yang baik. Yang pertama adalah contoh untuk dirinya sendiri, contoh untuk keluarga, contoh untuk masyarakat, dan yang terkahir adalah menjadi contoh untuk negara Amarta. 

Boleh meminta komentar, terkait NU di bidang kebudayaan karena masih berlangsung di beberapa pesantren, beberapa cabang. Dan apa pentingnya ormas seperti NU harus mengapresiasi seni budaya? 

Yang saya pandang saat ini, NU ya, karena mereka juga mempunyai komitmen, visi-misi, selain merawat empat pilar untuk kejayaan NKRI, dan di dalam NKRI itu sendiri kan ada budaya. Budaya itu kan terbagi menjadi kesenian. Nah, di dalam kesenian itu termasuk wayang itu sendiri. Nah, harapan kami, setelah itu kami mendapat penghormatan untuk pentas di acara PBNU dan kemarin ada MoU kerja sama antara PBNU dan Persatuan Pedalangan Indonesia, harapan kami tidak berhenti sampai kemarin itu saja, tapi ada kelanjutannya, misalnya tidak hanya di Jakarta, tapi di cabang-cabang, di daerah di mana pun juga. 

Lha, kenapa kok yang harus ditampilkan wayang? Karena di dalam wayang itu sangat lengkap, unsur-unsur budaya di wayang, unsur-unsur kesenian di wayang sangat lengkap. Jadi, untuk merawat dan menjaga budaya, budaya itu kan tidak hanya kesenian, termasuk pola hidup, pola pikir orang sesuai dengan jatidiri orang nusantara, misalnya orang Jawa itu ada istilah sepi ing pamrih rame ing gawe, toto kromo, udo negoro, yang berhubungan dengan sikap dan perilaku di situ terbitnya dalam bahasa dan perilaku, bahasa Jawa misalnya. Di dalam wayang itu berbagai elemen menjadi satu. 

Di situ ada seni sastra, ada seni tata krama, ada seni tari, seni musik, karawitan jawa, terus ada seni suara, teater, semua teradapat di dalam wayang itu sendiri. Ketika nanti ada kerja sama yang baik antara Nu dengan pewayangan, nanti insyaallah bisa mengembalikan Nusantara terhadap jatidirinya karena menurut saya, martabat bangsa ini tergantung kebudayaannya itu sendiri. Ketika semua warga masyarakat menjunjung kebudayaan, maka yang ada adalah  martabat yang luhur, yang tinggi demi kejayaan dan ketenteraman negara kita. 

Kalau jenengan melihat situasi beragama sekarang, semakin antibudaya, di sisi lain NU meraihnya. Semakin menguat. Cara berdakwah lewat wayang masih efektif untuk cara beragama hari ini? 

Kami sajikan kemarin itu banyak contoh-contoh, misalnya di situ ada pandita atau kiai yang namanya Durno. Sebenarnya dia itu baik. Ilmunya juga luar biasa, ilmu agama, ilmu pendidikan, dan apa pun. Sangat luar biasa. Nah, kesalahan Durno itu masuk ke ranah politik, dan politik yang buruk, kotor karena dia menjadi pandita atau resi atau kiai di negara Astina. Astina itu negara Kurawa. Ketika Kurawa yang tiap hari mengumbar kemurkaan dengan iri dengki, dengan menyebar adu domba, merusak kerukunan, ingin menjatuhkan negara Amarta, menjatuhkkan Pandawa melalui berbagai cara termasuk dengan merusak budayanya itu sendiri, termasuk mencabut budaya dari akarnya itu; lha ketika nanti telah tercabut, negara Amartanya menjadi tidak kuat, tidak sentosa. 

Nah, setelah itu maka akan gampang untuk dirobohkan. Contohnya aliran yang rusak itu alirannya Durno itu. Semar ini sebagai kiai, yang sudut pandangnya bisa mewakili NU. Ia sebagai penengah, yang intisarinya menyampaikan atau memberi nasihat kepada Pandawa itu harus kembali itu tadi, harus bisa mengajak semua warga masyarakat untuk bisa ke Jamus Kalimasada atua Pancasila itu. Di situ kan ada contoh-contoh kejadian atau karakter yang dalam pertunjukkan wayang kemarin, harapan kami dari sajian kemarin itu masyarakat bisa mengambil hikmahnya untuk yang baik bisa diambil, yang buruk ditinggalkan jauh. 

NU itu ibarat semar. Supaya NU tetap bisa memerankan penengah dalam kehidupan berbangsa? 

Ya, saya sangat setuju dengan pendapatnya Kiai Said kemarin, kan tujuan dan visi NU itu kan dari masa ke masa tidak pernah berubah, yaitu untuk merawat, menjaga, mengembangkan agama Islam dan juga selalu menjaga dan melestarika, urip-urip, uri-uri kebudayaan. Ketika komitmen, visi misi NU yang kemarin disampaikan oleh Kiai Said itu bisa terus dipertahankan dan bisa dilaksanakan, dan bisa dikembangkan, insyaalah nanti akan membawa dampak yang sangat positif. 


Terkait