Pasca runtuhnya Orde Baru, sistem ketatanegaraan Indonesia banyak mengalami perubahan, termasuk terjadinya beberapa kali amandemen UUD 1945 sampai akhirnya menghasilkan bentuk yang seperti sekarang ini. Proses amandemen tersebut juga memunculkan perdebatan akan keinginan pada bentuk negara agama dengan simbolisasi pada masuknya tujuh kata Piagam Jakarta pada pasal 29 dan disisi lain, keinginan pada bentuk negara sekuler yang secara tegas memisahkan agama dan negara. Bagaimanakah sebenarnya bentuk terbaik konstitusi bagi Republik Indonesia, dan apakah konstitusi yang ada sekarang sudah memenuhi aspirasi umat Islam sebagai penduduk mayoritas, berikut ini wawancara Mukafi Niam dengan Dr. Nadhirsyah Hosen, pakar hukum Islam dari Wollongong University Australia yang juga rais syuriyah PCI NU Australia dan Selandia Baru seusai diskusi Islam dan Negara di kantor P3M akhir Desember lalu.
Konsep konstitusi apa yang paling tepat di
Saya kira hasil reformasi konstitusi di
Konstitusi bukan segalanya, kalau konstitusinya bagus, terus masyarakat menjadi bagus, begitu. Jadi saya kira banyak hal lain yang perlu kita bicarakan selain konstitusi.
Apakah nilai-nilai Islam sudah masuk dalam konstitusi kita?
Ya, saya kira apa yang dilakukan oleh Kiai Hasyim Muzadi, Gus Dur dan tokoh NU lainnya sudah sangat menegaskan bahwa NU menganggap negara kesatuan RI sudah final, bisa menerima Pancasila. Saya kira ini sumbangsih NU yang luar biasa. Seperti yang saya tulis dalam buku saya,
Artinya konsep NU dengan sikap moderasinya…?
Ya, artinya NU dengan menghargai nilai lokal, nilai-nilai yang substansif, kebhinekaan, atau NU tidak memaksakan lewat jalur kekerasan, tetapi bahkan lewat jalur membangun pesantren. Ini cara reformasi yang luar biasa, lewat pendidikan ini pengaruhnya jauh ke depan, Muhammadiyah
Tapi meskipun kecil, golongan Islam garis keras bersuara sangat keras?
Kalau saya begini, saya punya anak dua, yang paling kecil, kalau ngomong selalu teriak, kenapa, kalau tidak begitu tidak didengar, sementara yang besar ngomongnya kalem. Rupanya sifat yang kecil-kecil ini harus berteriak supaya bisa didengar. Dan kita tidak boleh kaget dengan mereka, mengapa kita tiba-tiba kaget, karena kita tidak pernah mendengar, padahal suara Islam moderat jauh lebih besar. Ini yang menjadi masalah, umat Islam di Indonesia ini mayoritas, tetapi mentalnya minoritas, takut dan khawatir dengan Islam garis keras.
Demikian pula media
NU tak perlu mengikuti gaya-gaya seperti itu karena orang besar dan sudah tua itu hanya dehem saja sudah berpengaruh
Artinya yang mereka suarakan tak perlu dipertimbangkan, tetapi kita gak perlu kebakaran jenggot sampai-sampai energi kita terkuras. Banyak sekali persoalan ummat yang membutuhkan jawaban dari NU seperti pemukiman kumuh, nelayan, pengungsi, tukang ojek, guru honorer, dan lainnya. Tetapi kalau kita selalu mempertentangkan Islam garis keras, fundamentalis, transnasional dan seterusnya, kita habis energi padahal banyak sekali umat kita yang membutuhkan uluran tangan bapak-bapak kita di PBNU.
Jadi ada dua tantangan, kita main politik dan kedua, kita cenderung main isu-isu sesaat itu. Energi kita habis di dua hal itu. NU itu tugasnya luar biasa, kenapa, karena NU
Tugas keummatan ini kan terkait dengan pengelolaan SDM yang dimiliki, bagaimana ke depan seharunya NU mengakomodasi kader-kader NU yang berasal dari berbagai PCI dengan kualitas SDM handal ini?
Ini problem besar, jangankan mengakomodasi, Pengurus Cabang Istimewa (PCI NU) di Australia dan tempat-tempat lain yang sudah resmi dilantik tidak punya jalur komunikasi.
Memang masalah komunikasi dan sistem?
Ya belum berjalan, padahal mereka sangat fanatik NU, militan ke-NU-annya, kita baca ratibul haddad rutin, hataman Qur’an, tahlilan jalan terus. Tak perlu diragukan ke-NU-annya, tetapi bagaimana mereka memberi konstribusi, lewat jalur mana, ini yang belum ketemu, masih buntu. Saya satu dua hari ini mau ketamu Pak Hasyim, mau bahas ini, karena sayang, SDM mereka luar biasa. Kita dulu bilang NU itu kaum sarungan, tahunya hanya tahlilan, sudah berubah itu. Sekarang mereka pada calon doktor semua, pada hebat-hebat, dan meraka tidak pernah mendapatkan beasiswa dari PBNU misalnya, tetapi mereka masih mau ngurusi NU, ya itu tapi, karena ingin melestarikan ajaran para wali. (mkf)