Jakarta, NU Online
Tingginya angka anak-anak yang terpapar Covid-19 mewarnai pemberitaan mengenai pandemi. Belum lagi di antara mereka yang harus melepaskan masa kanak-kanaknya dengan bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Hal demikian memang menjadi ironi di tengah Hari Anak Nasional diperingati setiap tahunnya pada tanggal 23 Juli yang tahun ini mengangkat tema Anak Terlindungi, Indonesia Maju.
Persoalan anak yang demikian pelik, terlebih di situasi pandemi seperti saat ini, perlu perhatian khusus. Untuk melihat problematika ini lebih jauh dan menemukan solusi terbaik dalam mengatasinya, wartawan NU Online Syakir NF berkesempatan melakukan wawancara dengan Ai Maryati Solihah, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak pada Ahad (25/7). Ibu kelahiran Cianjur 40 tahun yang lalu itu merupakan sosok yang aktif membela hak-hak perempuan dan anak-anak sejak dulunya.
Berikut petikan wawancaranya.
Hari Anak Nasional 2021 mengangkat tema 'Anak Terlindungi, Indonesia Maju'. Namun, fakta menyebutkan bahwa Pandemi Covid-19 telah merenggut keceriaan banyak anak-anak Indonesia, mulai dari sekolah tanpa tatap muka atau daring, hari-hari yang penuh membosankan di rumah, hingga adanya sebagian dari mereka yang tereksploitasi dan menjadi korban perdagangan anak. Sebelum jauh membahas dua hal terakhir, ada satu pertanyaan yang sangat mendasar.
Apa makna ‘eksploitasi’ anak? Sebab, hari ini kita mengetahui banyak di antara mereka yang harus merelakan masa kanak-kanaknya untuk membantu orang tuanya bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apakah demikian juga masuk pada definisi frasa tersebut?
Untuk Hari Anak Nasional, tema yang diangkat Anak Terlindungi, Indonesia Maju itu berkorelasi dengan situasi pandemi. Ini bertujuan untuk menggungah kesadaran kita semua bahwa anak sebagai usia yang harusnya mendapatkan perlindungan sangat terkena imbasnya. Artinya, kita semua perlu meningkatkan perlindungan, kewaspadaan, dan menemukenali persoalan anak Indonesia. Itu yang harus kita kolaborasikan menjadi mainstreaming di saat seperti ini.
Dalam konvensi Hak Anak, ekploitasi anak adalah hal apapun yang ditujukan dengan mengambil keuntungan dari anak-anak, baik materil maupun imateril, termasuk tenaga atau seksual juga. Itu memberikan ketimpangan dominan, perendahan harkat, dan martabat dan menempatkan anak sebagai objek. Hal ini bukan hanya menyerang anak-anak, tetapi juga seorang mendapatkan keuntungan dari situasi itu. Ini tentu ada beragam derajat dan ekskalasinya. Kita tidak mau sekecil apapun, anak menjadi sasaran eksploitasi.
Ada orang tua mempekerjakan anak, misalnya, kita harus lihat kasusnya terlebih dahulu, apakah itu eksploitasi? Kalau benar, apa itu bisa masuk menjadi pidana, atau bisa dilakukan intervensi? Ketika orang di bawah garis kemiskinan, di masa pandemi seperti sekarang, anak menunggu warung orang tuanya, itu adalah sebentuk menurunkan budaya usaha atau keahlian di sawah, di kebun. Hal demikian bukan sesuatu yang memberikan rangkaian kekerasan, tetapi menurunkan keahlian. Tentu saja dengan catatan tidak sampai larut malam, tidak sepanjang hari, dari pagi sampai petang. Kalau demikian juga bisa jadi eksploitasi.
Bagaimana verifikasi pidana atau tidak? Hal demikian bisa dilihat dengan proses penurunan keahlian itu dibatasi dengan waktu yang baik, maksimal tiga sampai empat jam; tidak mengabaikan kebutuhan anak dan kepentingannya. Saya kira, itu masih mungkin dilakukan intervensi, bimbingan, hingga permodalan bagi orang tuanya, atau KIP (Kartu Indonesia Pintar) bagi anak-anaknya, ataupun PKH (Program Keluarga Harapan), dan sebagainya.
Berbeda dengan memaksa anak-anaknya. Misalnya, harus setor ngamen, orang tua harus menerima setoran dengan batasan tertentu. Ini masuk kerangka eksploitasi. Siapapun, kendati orang tuanya harus berhadapan dengan hukum.
Anaknya dikawinin, dibawa kerja, eh ternyata dilacurkan. Mau di toko busana, ternyata di klub malam. Ini juga termasuk bentuk kejahatan. Ada sistem pekerja anak. Ketika dilihat, ini pidana perdagangan orang. Anak-anak ini dipilih karena lebih murah harganya dan tidak banyak rewel. Ini menyasar kelompok rentan bisa memanfaatkan.
Ada juga eksploitasi seksual. Seseorang yang mungkin ikut, dia memanfaatkan secara seksual, atau kelompok yang penyuka anak kecil (pedofil). Jadi, terlihat dari kenapa melakukan penyerangan seksual anak.
Deputi Bidang Perlindungan Anak KemenPPA Nahar menyampaikan kenaikan kasus eksploitasi dan traficking di masa pandemi. Kasus eksploitasi tahun 2019 berjumlah 94 kasus dan naik menjadi 136 kasus pada 2020. TPPO pada 2019 kasusnya berjumlah 118 dan meningkat menjadi 211 kasus pada tahun 2020. Faktor apa yang menyebabkan adanya kenaikan kasus tersebut?
Kami prihatin angka kemisikinan, PHK, pengurangan jam kerja, hingga pendapatan pekerja informal menurun. Riset KPAI di 20 kota/kabupaten mengenai pekerja anak, juga mengakui adanya ekonomi Indonesia sedang sakit. Ini mengalami lompatan pada pekerja anak. Pemerintah menekan agar tidak menjadi pekerja dini, tetapi demi stabilitas ekonomi di keluarga dan usaha mikro tidak lepas dari relasi anak-anaknya.
Eksploitasi paling menonjol. 12 dari 20 kabupaten/kota, ada anak yang dilacurkan. Pada prinsipnya, sulit terungkap. Yang terkonfirmasi hanya dari kepolisian. Satpol PP menggrebek hotel juga menemukan anak dalam kasus prostitusi. Ini ada eksploitasi, entah dari mucikari, hotel, atau pemilik kos-kosan, dan sebagainya. Ini terlaporkan ada tidak? Januari sampai Juni ada 234 anak dalam 35 kasus TPPO, prostitusi, hingga penjualan bayi.
Apakah angka ini bisa dipertanggungjawabkan? Kami melihat satu kasus ada empat anak sampai 10 anak. Bahkan 90 anak dalam satu kasus di Pontianak. Situasi pandemi tidak menyurutkan kasus. Anak-anak disasar. Ada kelompok yang betul-betul memanfaatkan. Bisa meraup keuntungan.
2021 ini hotel pemilik salah satu artis Cithya. Dia membiarkan menampung hotel dia anak-anak di abwah usia umur prostitusi, dengan berbagai kemudahan. Ajak temen-temen kamu. Itu dilakukan untuk survival hotel dia.
Ini betul-betul menggadaikan masa depan anak-anak kita. Harusnya ini ditindak secara hukum. Jelas, bukan sebatas mempekerjakan anak, tetapi sudah sindikat perdagangan anak. Setuju meningkat, tetapi kami melihatnya tidak menyurutkan. Ini momentum Hari Anak, perlindungan anak terdampak ini membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan efisiensi.
Mungkin benar data bansos. Tapi menyasar nggak? Kita butuh pengawas. Anak betul-betul membutuhkan, malah tidak terbantu. Orang rentan malah terlewat.
Apa yang harus dan tengah diupayakan Pemerintah dalam mengurangi kasus serupa?
Sesuai dengan yang kami rekomendasikan, kami melihat fenomena pekerja anak ini serius. Untuk menekannya, sebetulnya sudah ada road map-nya sampai 2022. 2022 itu depan mata. Pekerja anak tidak bisa ditekan sedemikian rupa. Mari, kita revisi road map tersebut sesuai dengan situasi. Intervensi keluarga melalui bantuan tunai ke keluarga.
Pengawas Kemenaker harus turun. Harus ada dialog dengan masyarakat. Harus ada tindakan khusus yang memang berdampak kepada penyelamatan anak supaya tidak bekerja. Itu memang stiuasinya rumit karena refocusing ke korban Covid agar terbantu dan yang lain tercegah.
Ada dampak menengah dan jangka panjang. Jangka panjangnya kebodohan hingga lost generation. Kita sedang mengurut supaya tidak ada gap berlarut-larut. Percepatan penyelamatan terhadap ini juga tidak boleh ditinggalkan. Tidak bisa ditarik dan di-shelter.
Kita juga mengetahui ada protokol Covid-19 B1 B2 B3, perlindungan anak, keluarga, dan keluarga rentan. Ada protokolnya dengan korelasi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Dinas Sosial. Sisi edukasi dan pelayanan juga harus sampai ke masyarakat.
Ada dampak menengah tidak boleh kita terlena dengan anggaran yang minim. Kita harus melakukan beragam strategi. Lakukan jangkauan ke daerah. Ini akan turut menekan situasi yang merugikan anak-anak. Kasus 17 anak-anak di Maumere saya laporkan di Kemenaker. Orang tua yang mengizinkan notabene dari Jawa Barat. Harus ada intervensi juga. Pola penanganan ini walaupun terimbas, tetapi kita juga harus melakukan beragam strategi yang bisa melindungi anak.
Pastinya ada pellibatan ormas. Ujung tombaknya masyarakat kan ormas. Tetapi lapor nggak? Situasi masyarakat Indonesia melewati kepercayaan dokter. Pola masyarakat melindungi anak itu ya lewat kiai atau ormas. Setiap ormas memiliki sentra perlindungan anak. TPA pengajian itu saya piker penting dan kita mengapresiasi. Anak korban kekerasan, pelecehan, bully, misalnya, masak datang ke masjelis taklim? Saya pikir Fatayat NU mereka sudah mempunyai lembaga konsultasi.
Nilai agama mestinya menjadi sarana efektif pelindungan korban. Tidak dikontroversikan. Tetapi justru pendekatan yang berakar. Problemnya dia kenapa terjadi kekerasan? Kerusakan dalam hal ini bisa diungkap dari akar problem yang ada. Anak-anak misalnya berbusana keluar malem itu salah anaknya sendiri. Di lihat dulu konteksnya bagaimana? Apakah karena kurang berpendidikan? Ini hal yang harus kita lindungi.
Yang terpenting lagi, kita harus memiliki sistem rujukan. Di Pesantren Cipulus, ada orang yang melaporkan atau curhat ke kiai mengenai anak-anak di lingkungannya yang masuk pengantin pesanan ke Tiongkok. Dari tujuh korban, ada tiga di antaranya masih usia anak, tetapi dimanipulasi. Kiai itu dokter yang menyembuhkan apapun, bukan dengan obat, tetapi dengan kata-kata melegakan dan motivasi, teman curhat, mencari jalan keluar. Itulah fungsi ormas. Menerima laporan dan merujuk.
Kita harus bisa mendeteksi kelemahan yang bisa dimanipulasi. Jangan ujug-ujug turis Jepang atau turis China terus orang tuanya bahagia. Kalau jadi istri orang di negeri orang kan sudah beda. Negosiasi negara kita harus kuat-kuat. Peristiwa di hilir ini tidak enak. Berbeda kalau kita siap siaga di hulu. Sesuatu bisa berpotensi menyelematkan gegara sudah melangkah.
Data anak-anak tidak bisa sembarangan, kecuali nakes. Jangan kasih data anak sembarangan ke wartawan. Identitas anak dilindungi, tidak boleh disebarluaskan. Tidak semua reporter memahami kode etik perlindungan.
Bagaimana langkah orang tua agar tidak melakukan hal-hal demikian?
Orang tua harus meng-update diri, skil, keecakapan pola pengasuhan. Banyak nilai yang harus diimplementasikan. Pengasuhan bukan hanya milik ibu, tetapi juga orang tua dan lingkungan. Menemukenali semuanya. Ketika anak berubah perilakunya, perubahan puberitasnya, anak-anak harus ditempatkan edukasi orang tua supaya mereka berkata, bertanya, berdialog. Biasanya mereka malu. Itu gak bisa sekali jalan orang tua tahu dan mereka terbuka. Biacaralah sama ibu dan bapak. Dia mengerti betul konsekuensi dan sebagainya. Itu hal dasar di keluarga. Ketika saya beruhubungan seksual dengan pacar, mendekati sesuatu yang membahayakan tubuh, dia mengenal konsep dirinya. Ini tugas besar orang tua memberi pengasuhan.
Mengenali kekerasan, orang tua harus memberi pengenalan. Bagaimana perlawanan kamu bisa teriak, lari, menjaga diri. Terlebih gawai, mana gambar yang tidak sopan. Tidak boleh melihat tayangan porno dan sebagainya.
Kejadian seksual 70 persen tidak mau bercerita karena malu, berdosa, dan sebagianya. Kalau sudah biasa berdialog dengan orang tua, mereka pasti mencarinya. Itu kelebihannya. Ini yang saya khawatirkan komunikasinya macet. Malah jadi cerita ke media sosial atau teman. Akhirnya terjadi eksploitasi seksual. Sebab, teman belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Bisa jadi malah membawa ke masalah selanjutnya.
Orang tua harus menemukenali kekerasan seksual, kenapa murung, takut melihat orang, ada tanda kekerasan.
Bagaimana kalau terjadi? Utamakan anak atau laporkan? Kalau orang tua masih bingung, telepon KPAI, telepon lembaga konseling. Bisa juga menghubungi Fatayat atau Muslimat. Bingung karena pelakunya orang dekat? Bisa telepon KPAI. Kami akan menjaga betul identitas, bahkan rumah dan anaknya. Polisi juga tahu. Inisial pun tidak boleh. Itu sudah sesuai dengan ‘Sebut Saja Bunga’ atau ‘Sebut Saja Mawar’ untuk menyamarkan.
Tetap harus ada kesejajaran dalam tugas fungsi. Bukan urusan ibu saja dalam mengasuh anak. Dengan peran ganda ibu, ada PJJ, hingga urusan domestik, itu tolonglah bekerja sama dengan ayahnya. Harus terurai bebannya dengan PRT dan lain-lain. Mereka juga perlu layanan psikologis. Kanal pengaduan supaya ada bimbingan konseling itu membantu menyelesaikan problematika.