Wawancara

NU Bisa Bantu Lakukan Mediasi

Jumat, 17 Juli 2009 | 04:00 WIB

Bagi pemerintah Cina, benarkah provinsi Xinjiang merupakan duri dalam daging? Sejak dianeksasi tahun 1930 dari Lembah Fergana, Asia Tengah, hingga resmi menjadi daerah otonomi Republik Rakyat Cina pada 1949, Xinjiang tak pernah reda dari pegolakan. Baru-baru ini konflik kembali terjadi di provinsi ini, sebenarnya apa dan bagaimana konflik itu bisa terjadi? Berikut wawancara NU Online dengan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) Jakarta Hendrajit yang juga peneliti lepas di LP3ES.<>

Apa sebenarnya pemicu konflik yang terjadi di Xinjiang?

Sebenarnya bentrokan antaretnis di Xinjiang antara suku Uighur dan Han dipicu oleh tersebarnya berita bohong tentang adanya pemerkosaan terhadap seorang wanita oleh buruh pabrik berasal dari suku Uighur asal Xinjiang.

Hanya sekadar rumor begitu?

Iya. Namun demikian, sungguh naif jika pihak berwenang di Beijing tidak mengembangkan kasus ini dalam ruang lingkup yang lebih luas. Mengingat implikasi dari rusuh antar etnik tersebut telah membuka pandora box yang selama ini tertutup rapat di balik tirai bambu pemerintahan Cina, yaitu nasib dan keberadaan suku Uyghur yang notabene menganut agama Islam.

Disinyalir otak di balik kerusuhan itu adalah Rebiya Kadeer, betul demikian?

Saya rasa sangat tidak tepat kalau pemeritah Cina hanya menyalahkan dan mengkambing-hitamkan Rebiya Kadeer, pebisnis dan pejuang bagi hak-hak warga suku Uighur yang sekarang bersama suaminya tinggal di Amerika Serikat. Meskipun Rebiya Kadeer boleh jadi terlibat dalam sebuah skema untuk melakukan aksi destabilisasi di Cina, namun, sekali lagi, terlalu naif jika pemerintah Cina menganggap Rebiya Kadeer sebagai satu-satunya otak perancang di balik bentrok antar-etnis tersebut.

Adakah kemungkinan skenario tersembunyi di balik peristiwa berdarah tersebut?

Tentu. Saya kira ujung cerita dari skenario itu adalah terciptanya destabilisasi di kawasan Asia Tengah. Dan bentrok di Provinsi Xinjiang, harus dibaca sebagai langkah awal menciptakan konflik baru berskala luas di kawasan Asia Tengah.

Sekadar informasi, Provinsi Xinjiang memiliki cadangan minyak bum yang cukup besar dan dikenal juga sebagai kawasan produksi gas alam terbesar bagi Cina.

Dari fakta geopolitik/geostrategis maupun kandungan kekayaan alam provinsi ini, maka sudah sewajarnya berbagai kekuatan korporasi internasional berambisi untuk menguasai daerah strategis ini. Apalagi mengingat fakta bahwa provinsi ini berbatasan langsung dengan beberapa negara di kawasan Asia Tengah dan Selatan seperti Rusia,Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.

Sebenarnya siapa perancang skenario itu, mungkinkah Rusia?

Dalam hal ini, ada dua negara yang, menurut saya, tahu persis nilai strategis provinsi Xinjiang, yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Karena itu, kalau pun Rebiya Kadeer dianggap sebagai pemicu kerusuhan, maka perannya hanya sebatas faktor pemicu belaka. Bukan perancang skenario yang sebenarnya.

Perancang skenario besar tetap berada di Washington, yang tujuan strategisnya adalah mengkondisikan terciptanya negara Turkestan Timur merdeka. Dan untuk menciptakan prakondisi ke arah itu, maka isu yang dikelola untuk memperluas eskalasi konflik bukanlah isu Islam versus Cina, tapi isu keberadaan suku minoritas Uighur versus suku-suku mayoritas Cina, utamanya suku Han.

Bukankah mayoritas warga Uighur adalah Muslim, maka ada kemungkinan konflik itu muncul karena isu agama, apalagi disinyalir pihak Beijing banyak melakukan diskriminasi terhadap suku Uighur selama ini?

Tidak. Justru politisasi suku bangsa dinilai cukup efektif di mata para perancang skenario  di Washington dan London, karena secara emosional dan psikologis, semua itu dengan cepat bisa memicu sikap sentimen antisuku yang berasal dari suku lawan. Terbukti, hanya karena dipicu sebuah rumor, suku Han dengan mudah diprovokasi untuk membantai suku Uyghur yang mana beberapa warganya dianggap telah melakukan tindak kejahatan dan asusila.

Seberapa seriuskah kasus ini bagi Cina?

Bagi Cina, ini merupakan krisis besar yang jauh lebih serius dibandingkan meletusnya kerusuhan berdarah di Tibet beberapa waktu yang lalu. Kali ini, jika pemerintah Cina tidak menangani kasus ini secara hati-hati, pada perkembangannya akan menghadapi internasionalisasi kasus Xinjiang.

Dalam skenario internasionalisasi kasus Xinjiang yang sebenarnya masih dalam taraf masalah dalam negeri Cina, maka skenario Washington dan London untuk mengkondisikan terciptanya negara Turkestam Timur merdeka akan semakin mendekati kenyataan.

Karena dalam skema internasionalisasi kasus Xinjiang, sentimen dan ikatan emosional 57 negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI, bisa dipastikan akan memainkan peranan besar. Artinya, negara-negara Islam akan bersepakat dengan berbagai komunitas internasional yang menginginkan terbentuknya negara Turkestan Timur merdeka lepas dari kendali pemerintahan Cina karena dianggap tidak melindungi aspirasi Suku minoritas Uyghur yang secara kebetulan beragama Islam secara turun-temurun.

Bagaimana sebaiknya organisasi massa seperti NU bisa ambil bagian dalam mengatasi konflik ini?

Sebagai ormas terbesar di Indonesia bahkan dunia, NU masih bisa saja memainkan peran dengan mengupayakan terwujudnya langkah-langkah setrategis seperti melakukan mediasi seperti yang pernah dilakukan NU saat membantu upaya rekonsiliasi konflik di Thailand selatan secara damai.

Terlebih, NU banyak menemukan kesamaan di level budaya. Berdasarkan pengalaman, sebuah konflik tak cukup diselesaikan dengan penandatanganan perjanjian bersama. Penggunaan tradisi dan budaya masyarakat lebih mampu membangun kohesi sosial dibandingkan dengan pendekatan politik. Dalam komunitas dengan tradisi Islam yang kuat, peran ulama bisa menjadi aktor penting untuk menyelesaikan konflik. Selain itu NU melibatkan negara-negara Muslim yang tergabung dalam ICIS yang digagas oleh NU atau mendesak negara-negara yang tergabung dalam OKI untuk pembentukan opini internasional yang lebih strategis.


Terkait