Wawancara

NU MEMASUKI ERA MANAJEMEN *

Selasa, 27 September 2005 | 12:12 WIB

Oleh : H. A. Hasyim Muzadi

Pasca Muktamar ke 31 di solo tahun 2004 lalu, yang diperlukan bagi NU adalah pengkondisian organisasi agar siap bekerja dan membangun dirinya demi kemaslahatan NU sendiri, agama, bangsa, dan negara. Pengkondisian ini harus diciptakan supaya kita bisa beraktivitas dengan tenang tanpa gangguan yang berarti. Karena kalau tidak tercapai, pada gilirannya oragnisasi tidak akan bisa bergerak secar efektif, efisien, sistemik, dan berkelanjutan.
 
Pengkondisian tersebut mencakup hal yang bersifat internal, terutama akibat gonjang ganjing Muktamar NU pada tahun lalu dan Muktamar PKB yang secara tidak langsung efeknya merembet ke NU, maupun hal-hal yang bersifat eksternal menyangkut posisi NU di kalangan umat Islam Indonesia secara khusus serta di pentas nasional dan internasional secara umum.

<>

Untuk yang bersifat internal tentu kita merujuk pada khittah, yang telah ditegaskan lagi di dalam Muktamar NU di solo. Sementara yang bersifat eksternal,  di kalangan kaum muslimin kitapun tetap memelihara watak NU yang moderat di hadapan kecenderungan tatharruf (ekstrimisme), baik yamani (ekstrim kanan) maupun syamali (ekstrim kiri) yang dewasa ini makin menggejala, sebagaimana halnya kampanye Islam inklusif yang selalu disuarakan NU dalam konteks kebangsaan. Adapun dalam konteks global, NU merefleksikan sebuah pandangan dan sikap anti kekerasan ataupun teror sekaligus juga anti Islamo phobia.

Hari ini setidaknya NU mulai tenang dan berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk mulai membangun dirinya kembali secara lebih serius. Dalam hal ini, beberapa poin pokok permasalahan yang harus diselesaikan, di antaranya;

Pertama, pembenahan sekretariat jenderal dan ke-katib-an. Untuk sekretariat jenderal dengan lima orang personilnya memang sudah mulai tertata rapi. Kelima orang ini dapat menangani pelbagai masalah internal maupun hubungan dengan pihak eksternal. Namun bagian sekretariat umum atau tata usaha yang berada di bawah naungan sekretariat jenderal masih relatif lemah karena belum terjadi regenerasi dan rasionalisasi, mengingat sebagian besar personilnya berusia 60-an tahun ke atas, kendati tetap harus dipersiapkan santunan yang cukup layak bagi mereka yang telah bekerja dan mengabdi di situ selama puluhan tahun, yang hingga saat ini masih dicarikan jalan keluarnya oleh PBNU.   

Karena bagaimanapun, organ di bawah sekretariat jenderal tersebut mesti dikelola oleh tenaga-tenaga muda yang bukan hanya mengerti administrasi, tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan organisasi yang makin hari makin meningkat, terutama menyangkut penguasaan bahasa asing (setidaknya bahasa Inggris dan Arab) dan ketrampilan berkomunikasi secara efektif, seperti halnya NU OnLine yang juga harus segera dilengkapi dengan tenaga interpreter yang profesional, sekaligus mampu menampilkan website resmi PBNU itu dalam 3 bahasa (Indonesia, Inggris, dan Arab).

Sedangkan staf ke-katib-an saat ini yang juga bertugas melakukan koordinasi di Syuriyah sudah jauh lebih baik dibanding periode lalu. Sekarang sudah ada pokja-pokja dan pertemuan rutin, bahkan terjadi peningkatan dinamika yang dapat dirasakan gaungnya, misalnya dalam aktivitas bahsul masail di lingkungan internal NU maupun partisipasi dan kontribusi pemikiran di wilayah eksternal.

Selain itu, administrasi keuangan di bawah sekretariat jenderal harus secepatnya dirapikan pula, terkait dengan profesionalitas manajemen, transpaansi, dan akuntabilitas. Termasuk di dalamnya yaitu upaya memadukan fungsi sekretariat jenderal dengan kebendaharaan. Pengeluaran dana organisasi, misalnya, harus atas persetujuaan dan ditandatangani oleh salah seorang Sekretaris, dua orang Bendahara, dan Ketua Umum. 

Kedua, mengupayakan pembiayaan organisasi secara mandiri dalam jangka panjang. Untuk itu PBNU terus menerus berusaha menjajaki peluang proyek-proyek yang memiliki makna strategis bagi organisasi maupun dalam konteks pemberdayaan ekonomi umat. Kita, misalnya, terus berkomunikasi dengan otoritas politik dan ekonomi di daerah dalam rangka membicarakan kemungkinan NU untuk mendapatkan lahan-lahan perkebunan, pertambangan, dan semacam itu. Paling tidak hingga saat ini, beberapa pihak di pelbagai daerah telah menyanggupi untuk menyediakan lahan bagi NU.

Di Sumatera Utara NU bakal memiliki lahan seluas kurang lebih 345 ha, yang bisa dipakai untuk pembangunan pesantren dan universitas, yang nantinya akan dapat mandiri secara finansial melalui pendayagunaan sisa lahan secara produktif, sehingga NU tidak terus menerus berada pada posisi yadus sufla. Di Jambipun NU memperoleh lahan seluas 400 ha. Di Sumatera Selatan juga demikian. Di Kalimantan Timur NU kemungkinan akan mendapatkan lahan seluas 10.000 ha. Sementara di Kalimantan Selatan NU bisa memperoleh lahan perkebunan ataupun (KP) ba


Terkait