Peran dan gerakan perempuan belakangan ini semakin berkembang, namun diantara mereka sendiri banyak terdapat perbedaan konsep tentang bagaimana perempuan yang seharusnya sehingga mereka berbeda pandangan mensikapi kasus aborsi, pornografi kebebasan dan lainnya. Dilingkungan NU, terdapat tiga badan otonom perempuan untuk mewadahi beberapa kelompok. Bagaimana upaya dan kerjasama yang harus dijalankan baik antar ormas perempuan maupun antar badan otonom perempuan NU, berikut ini wawancara Mukafi Niam dengan Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa seusai menerima Pimpinan Perempuan Hizbullah Afaf Al Hakim di Gd. PBNU awal Desember lalu.
Gimana arah gerakan organisasi-organisasi perempuan?
Aku melihatnya positif saja keberadaan berbagai organisasi perempuan, tetapi yang sekarang perlu dilihat adalah kemampuan sinergi, apapun levelnya, berapapun anggotanya, apapun programnya. Menurut saya, sekarang yang harus dikonsolidir adalah sinergi. Misalnya kalau organisasi Islam ada di BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita
Jadi itu belum menjadi forum sinergi diantara kekuatan organisasi wanita atau perempuan atau ormas atau apapun.
Pemetaan ini yang penting tanpa harus menunggu siapa-siapa. Maksud saya nga usah menunggu pemerintah, nga usah menunggu sopo-sopo, organisasi itu kalau secara mandiri bisa berbagi peran, ya, meskipun tidak semuanya ada yang akan bisa diselesaikan. Masing-masing organisasi saat ini
Kalau kerjasama diantara organisasi perempuan NU sendiri gimana?
Ternyata tidak sederhana, dulu awal saya jadi ketua umum, paling tidak kalau dalam struktur NU, Muslimat paling senior gitu, meskipun dari sisi umum sejak saya jadi ketua Muslimat masih lebih muda daripada ketua Fatayat. Lha aku yo ora ngerti Fatayat dituakan umurnya, lalu dituakan lagi. Jadi meskipun saya terpilh lagi, tetap lebih muda daripada Fatayat. Tapi saya mau melihat pada struktur ke-NU-annya bahwa Muslimat lebih senior. Saya mengkomunikasikan bagaimana program ini bisa kerja bareng, ternyata nga mudah. Saya tidak tahu kenapa waktu itu, kemudian ada saja yang menjadikan kita tak bisa melanjutkan kerja bareng itu. Saya berharap ini bisa dimediasi oleh PBNU karena Muslimat, Fatayat dan IPPNU itu setara dihadapan PBNU. Hanya saja kalau dilihat dari kelahiran dan usianya, Muslimat
Makanya perlu mediasi PBNU untuk mensinergikan diantara seluruh kekuatan badan otonom. Ini antara lain yang saya beberapa kali sempat menyampaikan kepada para pengurus PBNU. Jadi menurut saya, wong namanya berproses, masing-masing juga mengalami dinamika, jadi maksimalisasi dari peran banom, lembaga dan lanjah itu antara lain butuh endorsement. Namun, kayaknya 99.9 persen masih jalan sendiri-sendiri.
Pertemuan untuk bisa mensinergikan lembaga, lajnah dan banom itu belum tentu enam bulan sekali, belum tentu setahun sekali, coba. Ini
Terkait dengan gerakan perempuan di NU belum memiliki visi yang sama?
Tak harus disamakan, nek aku Muslimat disamakan dengan IPPNU
Pandangan tentang Gerakan feminisme ini gimana Mbak?
Tergantung, feminis apa,
Nah, sekarang kelompok yang atas nama women right, atas nama reproductive right, lalu mereka mencoba untuk melakukan legal aborsion, kalau Islam sudah keluar dari syariah. Lha kalau yang seperti itu harus dipagari, aborsi boleh, pada tataran ketika janin itu mengganggu keselamatan itu. Eksepsi-eksepsi seperti itu harus dibuat sesuai dengan aturan, ada aturan agama, norma, susila. Saya terserah mau dibilang sok moralis, sok apa-sok apa, tetapi itulah yang membedakan manusia dan yang tidak manusia, jangan mereduksi makna kemanusiaan itu sendiri.
Diantara mereka ada yang memang women libs, gitu. mereka yang berusaha melaksanakan hak perempuan sebebas-bebasnya saya tidak bisa seperti itu. Norma-norma itulah yang menjadikan ada peradaban, budaya. Jadi yang tidak dimiliki dia, yang bukan manusia.
Beberapa aktifitis perempuan Islam sendiri juga menentang poligami, menentang RUU APP, mendukung aborsi, ini sebenarnya gimana, mereka
Itu masuk kategori women liberation, kalau sudah keluar dari norma-norma, ya harus dikembalikan pada makna kemanusiaan itu sendiri, makna peradaban itu sendiri. Ketika mereka bercerita tentang masyarakat madani, masyarakat mutamaddin, gimana kemudian peradaban itu akan mereka tempatkan, gimana martabat manusia itu akan mereka tempatkan, tidak bisa atas nama hak-hak reproduksi, lalu semuanya dilakukan semau-maunya
Saya rasa, saya dalam beberapa hal dianggap orang konservatif. Bagi saya manusia harus dibedakan dengan yang bukan manusia, jangan mereduksi makna kemanusiaan atas nama kebebasan tanpa batas, jadi bagi saya menempatkan perempuan sebagai ibu utama dan pertama itu menjadi penting. Menempatkan perempuan sebagai bagian dari penerus budaya, penerus peradaban itu menjadi penting. Kalau ada pola-pola yang kita tahu menerabas dan itu dibiarkan, merusak peradaban manusia itu sendiri, juga dilestarikan, ya saya berbeda dengan mereka.
Terus interaksi antara laki-laki dan perempuan gimana mbak?
Saya rasa hubungannya fungsional saja, ya struktural fungsional, apalagi memang, kalau ini pada posisi sesuai dengan profesinya masing-masing, memang kenapa, perempuan harus jadi laki-laki atau sebaliknya, tidak seperti itu.
Sekarang begini, ada saatnya suaminya sakit, yang cari uang istrinya, ada suami pemabuk, tukang judi, pantas tidak dia menjadi kepala keluarga. Ayolah dilihat persoalan yang muncul dalam masyarakat kita. Jadi menurut saya bagaimana dibangun kesetaraan dalam posisi mutual understanding. Ya mereka harus memahami posisi masing-masing, tidak harus memaksakan. Mbok meskipun suaminya penjudi, peminum, pemakai narkoba, pokoknya dia kepala keluarga, apa keputusan yang mau diambil, yang benar saja.
Nah sekarang ini yang harus dijadikan pertimbangan untuk membangun mutual understanding bahwa sekarang kecenderungan gugat cerai tinggi sekali, “tinggi pake sekali”. Misalnya di Makassar, data tahun 2005 karena ini data yang bisa diakses untuk tahun 2007, dari dirjen Bimas Islam, 85 persen itu gugat cerai, di Jakarta ini 75 apa 80 persen, di Surabaya 80 persen, di Bandung justru 65 persen. Di Semarang 70 di Medan 75 persen, di Cilacap 80 persen, yok opo ini.
Ini karena apa?
Kalau menurut aku ini problem serius, gugat cerai, kenapa tidak harmonis. Saya rasa Dirjen Bimas Islam sudah menginformasikan, tetapi tidak menggelinding, meskipun banyak media memuat. Masing-masing menurut saya harus memberikan respon supaya lalu ada refleksi dari masing-masing individu dan keluarga. Ini jangan dianggap remeh. Dan di Muslimat, ini tak omongno di berbagai tempat. Bapak-bapak jagalah keluarga, jangan cuma ibu-ibu yang disuruh jaga keluarga. (mkf)