Wawancara

Pesantren Bisa Jadi Pusat Penanganan Bencana

Selasa, 21 November 2006 | 07:43 WIB

Seringnya bencana yang melanda Indonesia telah menimbulkan banyak korban. penanganan terhadap bencana yang kurang baik merupakan salah satu penyebab tingginya korban tersebut. Sebagai bentuk kepedulian NU terhadap permasalahan bencana, kini dibuat program Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) dengan fokus pesantren sebagai pusat penanganan bencana. Apa dan bagaimana penanganan bencana berbasis pesantren ini, berikut wawancana mukafi niam dengan program manager CBDRM NU Ir. Avianto Muhtadi MM di kantornya di Lt 7 Gd. PBNU pekan lalu.

<> Apa yang dimaksud dengan penanggulangan bencana berbasis pesantren?

Saya beri pengantar dulu, kita mengenal adanya Yhogho Framework, yaitu deklarasi di Yhogho Jepang sana, yang dibuat oleh LSM, PBB dan pemerintah, mengenai masalah bencana. Bencana bisa dilihat dari sudut pandang pemerintah dan sudut pandang masyarakat.

Kalau dari sudut pandang masyarakat, banyak korban sebetulnya bukan karena terkena bencana, tapi akibat dampak bencana seperti yang terjadi dalam bencana tsunami di Aceh, korban yang meninggal banyak, korban luka juga banyak yang tidak ditangani dengan baik sehingga berdampak luas, demikian juga kerugian infrastruktur dan harta benda.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Berdasarkan Yhogho Framework, masyarakat sendiri harus diberi pengetahuan untuk bisa mengerti dan sadar terhadap bencana dan resikonya sehingga bisa berpartisipasi untuk menurunkan resiko bencana.

Di Indonesia sudah banyak sekali LSM yang turut memberikan penyadaran dan pelatihan-pelatihan. Hanya saja, dari sisi penanggulangan bencana di Indonesia, seharusnya holistic, namun tidak masuk wilayah-wilayah keagamaan. Sebagai contoh ada siklus penanganan bencana mulai dari tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi dan recovery dan persiapan atau mitigasi..

Nah pada saat mitigasi, kalau faktor alam, ya sudah, tetapi kan ada yang karena faktor ulah manusia. Seperti banjir, longsor dan segala macam. Nah dari situ peran-peran masyarakat serba salah, di satu sisi memang butuh lahan untuk perekonomian, disisi lain tidak mengerti bagaimana mengelola alam supaya tidak terjadi resiko bencana.

Saya tidak mau ngomong masalah korupsi atau segala macam, itulah persoalan yang kita hadapi. Kalau peran masyarakat agamis, tidak hanya Islam, memberikan masukan dengan memberikan penyadaran lewat jaringan-jaringannya, berarti kalau di NU lewat majelis taklim, ada khutbah jumat, atau acara keagamaan lainnya, belum lagi pesantren kita yang 12 ribu. Itu sangat efektif dalam melakukan penyadaran sehingga dampak bencana bisa diminimalisir. Dan kalau berbasis pesantren, pesantren bisa dijadikan tempat untuk memberikan penyadaran. Pesantren itu didirikan oleh masyarakat, diperuntukkan untuk masyarakat dan dikelola oleh masyarakat sehingga tidak hanya punya pemilik pesantren.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Masyarakat di lingkungan pesantren kalau terjadi apa-apa biasanya larinya ke pesantren. Bukan pemerintah. Sebagai contoh ketika ada masalah di Jogja, orang larinya ke pesantren untuk minta petunjuk, nasehat dan segala macam sehingga pesantren menjadi tempat dan basis untuk ngumpul, ngungsi dan segala macem. Juga di Jember. Selain itu murid pondok pesantren akan dilatih tanggap darurat bencana sehingga ketika mereka pulang, bisa diterapkan di wilayahnya maisng-masing.

Ada tiga hal yang akan kita lakukan, pertama adalah membuat arah dan desain penanggulangan bencana untuk masyarakat. Kedua kita akan membuat modul dan prosedur (SOP) gimana melatih dan mengembangkan masyarakat melalui NU dan pesantren. Ketiga, selain kita memiliki trainer, kita juga memiliki motor penggerak di masyarakat. Ketiga kita berharap bisa bekerjasama antara pemerintah dan LSM, jadi nanti ada MoU dengan Bakornas, Satkorlak, PMI, dan dengan LSM lainnya seperti Kappala, Walhi, Kappal yang memang sudah bergerak di bidangnya. Selain itu juga dengan para funding seperti UN, Unesco, Oxfam, MPBI. Banyak sekali yang kita tidak tahu masalah penanggulangan bencana, karena memang di daerah belum banyak yang tahu Yhogho Framework yang ada empat tahapan itu.

Dari situ mungkin gambaran penanganan bencana berbasisi pesantren, tapi ini juga sebagai kritik bagi kita atau PBNU karena tidak adanya lembaga yang benar-benar mengetahui bagaimana proses ini dari awal dan akhir termasuk jaringan keluar.

Dalam konteks mitigasi, terdapat paradigma bahwa bencana itu datangnya dari tuhan, ya memang, tapi jangan sampai ini membuat pasrah. Masyarakat menilai ini urusan pemerintah dan urusan yang lainnya.

Kita juga ada keinginan untuk membuat modul pelatihan tadi diharapkan


Terkait