Wawancara

Pesantren Merupakan Sistem Pendidikan Paling Pas

Selasa, 5 September 2006 | 08:30 WIB

Pesantren, sebuah lembaga pendidikan agama yang selalu diidentikkan dengan Nahdlatul Ulama belakangan ini semakin mendapat perhatian. Namun demikian sejauh ini, pesantren masih dianggap sebagai tempat pendidikan kelas dua, karena itulah berbagai fihak mendorong pesantren untuk melakukan perubahan. Lalu apa sebenarnya keunggulan pesantren dengan sistem pendidikannya yang 24 jam tersebut dan bagaimanakah sistem pesantren yang ideal yang akan berhasil dalam mendidik para santrinya. Berikut ini wawancara Mukafi Niam dengan Rais Syuriah PBNU Dr. KH Masyhuri Naim.  

<>

Bagaimana pandangan bapak terhadap institusi pendidikan pesantren dibandingkan dengan sistem pendidikan lainnya?

Kalau saya, terutama pesantren tempat saya dulu dididik, itu prototype gambaran pendidikan ala rasulullah, attarbiyah wat taklim, dua-duanya. Menuntut ilmu iya dan dalam moralitas iya, itu luar biasa sebetulnya. Tapi sekarang sudah mengalami degradasi semuanya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Pesantren sudah banyak yang tidak menggambarkan kepesantrenannya dengan selayaknya. Kalau dulu, orang sangat menghormati gurunya, dengan demikian tentunya ia akan lebih hormat lagi kepada ulama, kepada rasulullah, apalagi kepada Allah SWT. Kalau ada orang pesantren yang tidak beres itu kasuistik saja.

Saya fikir pesantren merupakan model yang paling pas untuk pendidikan sehingga kalau ditanya  pribadi saya tidak setuju dengan sistem klasikal yang ada. Pesantren itu kan 24 jam, kalau kelas kan paling 6 jam sehingga yang lebih banyak rusaknya kan ketika berada diluar sekolah.

Dengan menyatu selama 24 jam, kan ada gesekan-gesekan antar teman, contoh yang baik dari teman bisa diambil. Guru yang menyatu dengan murid membuatnya juga punya tanggung jawab moral. Misalnya kalau subuh kedahuluan muridnya kan malu, ada  monitoring langsung. Ini sebetulnya yang luar biasa. Makanya saya pingin bikin pesantren yang seperti itu. Saat ini model seperti itu yang tengah saya rintis.

Pendidikan model Barat, anda tahu sendiri, dengan sistem SKS atau kredit point, mereka malah kurang ajar kepada guru. Karena ditawarkan mata kuliah ke beberapa guru, kita tinggal milih-milih, kebanyakan karena selera misalnya karena seorang guru nilainya mahal ia tidak menjadi favorit. Apa pesan moral Rasulullah kita harus mencari guru yang berkuaitas tidak lagi. Saudi Arabia, sebelum Indonesia kejangkitan metode SKS, sudah pakai metode SKS, namun saya dengar sekarang ini sudah kembali ke sistem awal.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Tapi masing-masing orang kan memiliki kemampuan yang berbeda, lalu bagaimana mengatasinya?

Yang mau diterapkan di Barat seperti itu, bagaimana orang yang IQ-nya diatas rata-rata tidak terkendala oleh mereka yang biasa-biasa saja. Sebetulnya, saya kalau boleh menganalogikan sistem numbuk padi cara desa. Gesekan-gesekan sesama teman itu yang berpotensi membuat padi terkelupas menjadi bersih daripada ditumbuh sendiri yang bisa-bisa menjadi pecah. Ketika terjadi gesekan-gesekan ini, diharapkan yang nakal menjadi malu dengan yang tidak nakal. Kompetisi tetap ada, tetapi bukan berarti meninggalkan yang tidak mampu berkompetisi, jadi buat saya itu tetap cara-cara gesekan antar murid, antar guru harus tetap terjadi.

Sekarang kan ada gap, mahasiswa saya tidak tahu siapa saya, mereka barangkali terkagum-kagum dengan penampilan saya, dengan ilmu yang tampak luarnya saja, barangkali mereka tidak melihat kejelekan-kejelekan saya. Dan saya tidak perlu menutupi karena memang saya tidak pernah bergaul dengan mereka.

Apa ini tidak memerlukan banyak tenaga guru yang bisa menjadi kendala?

Buktinya Rasulullah, single fighter, antar Rasulullah dengan para sahabat, atau antar sahabat dengan para sahabat. Ini yang berpotensi melahirkan hasil yang maksimal. Jadi persoalannya bukan pada banyak dan sedikitnya. Anda tahu kan bagaimana para imam dulu itu, kadang-kadang hanya sendirian, mereka berhasl menggembleng ribuan manusia, persoalannya bukan persoalan jumlah, tapi kualitas.

Sesama mahasiswa yang sama tingkatannya saja bukan tidak mungkin mengambil dari yang lain, bahkan mungkin guru juga mengambil dari mahasiswanya karena adanya gesekan ini.

Artinya ada sinergi?

Iya, ini luar biasa, daripada yang diberikan oleh sistem Barat.

Lalu mengapa pesantren kok malah merubah sistemnya?

Ini berkaitan dengan perkembangan zaman dimana performance menjadi sesuatu yang penting. Kehidupan dunia menjadi suatu keniscayaan. Orang terlalu


Terkait