Remy Sylado: Ciri Orang NU Itu Mencari Teman, Bukan Musuh
Senin, 5 Agustus 2019 | 10:00 WIB
Salah satu keunikan dia adalah kerap mengganti namanya. Remy Sylado sendiri adalah nama samaran atau nama pena yang kemudian menjadi beken hingga sekarang. Kadang namanya sering berupa angka-angka yaitu 23761. Angka itu bisa dibaca re mi si la do. Ia juga pernah menggunakan nama pena Alif Danya Munsyi. Sementara nama aslinya Yapi Panda Abdiel Tambayong.
Remy Sylado lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945. Masa kecilnya ia habiskan di Jawa seperti Semarang, Solo, Yogyakarta, Bandung. Dan sekarang tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Akhir bulan lalu, ia bersama sahabat-sahabatnya bersilaturahim ke PBNU. Tujuannya akan mengundang Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj untuk hadir ke acaranya di akhir Agustus ini.
Sebelum bertemu Kiai Said, Abdullah Alawi dari NU Online berbincang dengannya terkait beragam hal, mulai bahasa dan sastra, musik, dan orang-orang NU yang pernah dikenalnya. Tentu saja dia mengenal dan mengingat dua tokoh besar NU yang telah tiada, yaitu KH Abdurrahman Wahid dan H Mahbub Djunaidi.
Salah satu kenangannya dengan Gus Dur adalah saat menjadi pembicara dalam pameran lukisan. Di sisi lain, Gus Dur juga pernah mampir ke kantornya di Rawamangun. Dengan seketika, ia menyuruh anak buahnya untuk mewawancarainya.
Sementara dengan Mahbub Djunaidi, yang diingat Remy adalah pembelaannya. Mahbub Djunaidi pernah membela dia saat tersangkut kasus hukum atas tuduhan menghina Gubernur Jawa Barat di era Orde Baru. Mahbub Djunaidi sebagai wartawan senior membelanya dalam bentuk tulisan.
“Saya masih simpan dua artikel Mahbub Djunaidi yang membela saya itu,” katanya.
“Kartu pers saya yang pertama itu kan Mahbub yang tanda tangan, tahun 66, dia Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) waktu itu kan. Terus sekjennya itu JS Hadis, orang Padang. Istrinya orang Manado,” lanjutnya.
Mahbub Djunaidi, menurut dia, menulis di Pikiran Rakyat sebanyak dua kali dalam upaya membelanya. Salah satu tulisannya dimuali dengan kalimat, tidak ada larangan seorang wartawan senior membela wartawan junior.
“Tahun 66 kan pers nasional kita itu diseragamkan oleh Suharto,” katanya.
Di tengah perbincangan, NU Online mempersilakan meminum air mineral yang ada di meja ruang tunggu Ketum PBNU.
“Dari tadi minum air putih melulu, kalau kopi boleh,” katanya.
Segera kami mencarikan kopi untuknya. Kemudian berbincang lagi dengan ragam tema. Berikut ini salah satu perbincangan dengan fokus kesannya dengan orang NU.
Bisa cerita saat bergaul atau bertemu dengan orang NU?
Penerbit saya yang di Bandung itu, orang NU punya. Faiz Mansur, dari Pesantren Tegalrejo. Teman saya justru dari orang-orang NU semuanya.
Apa kesan bergaul dengan orang NU, kiai, dan pesantren?
Terbuka itu. Jadi, saya rasa, yang persis gambaran yang diciptakan dalam wayangnya Sunan Kalijga, nala gareng, cari teman toh. Orang NU tuh nala gareng, cari teman, bukan cari musuh. Saya rasa itu.
Bisa sebut orang NU yang pernah yang punya hubungan dalam suatu kegiatan?
Ya kemarin Gus Mus yang buka acara ulang tahun saya (12 Juli), saya yang minta, saya telepon dia. Di Madura ada satu lagi, Zawawi Imron.
Bagaimana tentang Pak Kiai Zawawi Imron?
Kalau lagi ngobrol begini, dia ambil pena, kemudian sket-sket begitu...hehe
Pernah kenal Mahbub Djunaidi?
Dia pernah menulis di majalah saya dulu, majalah Top. Bandung sekarang jadi kota bakso. Tahun 70-an itu lagi banyaknya bakso di Bandung. Padahal dia sendiri tinggalnya di Bandung.
Apa kesan tentang Mahbub Djunaidi?
Waktu saya diadili kasus delik pers, Mahbub Djunaidi yang membela saya di pengadilan.
Waktu itu Pak Mahbub sudah di NU ya?
Sudah. Kartu pers saya yang pertama itu kan Mahbub yang tanda tangan, tahun 66, dia Ketua PWI waktu itu kan. Terus sekjennya itu JS Hadis. Kenal? Orang Padang. Istrinya orang Manado.
Itu pembelaan Mahbub Djunaidi bagaimana?
Saya dipersalahkan karena dituduh menghina Gubernur Jawa Barat. Mahbub Djunaidi nulis di PR sampai dua kali itu. Dua kali dia bela saya. Dia nulis di PR. Tidak ada larangan seorang wartawan senior membela wartawan junior, itu bunyi pertama kalimat pembelaannya. Waktu itu tanda tangan kartu pers PWI itu memang dia yang tanda tangan. Tahun 66 kan pers nasional kita itu diseragamkan oleh Suharto. Semua surat kabar yang cenderung ke politik tertentu itu harus memakai nama dari partai tertentu. Jadi misalnya Duta Masyarakat, NU punya yang di Jakarta, di seluruh Indonesia harus menggunakan Duta Masyarakat edisi misalnya, edisi Jawa Tengah, edisi Jawa Tengah. Di Jawa Barat edisi Jawa Barat. Waktu itu begitu.
Alasan Mahbub Djunaidi membel itu apa ya kira-kira?
Karena tidak sesuai dengan akal sehat. Iya. Hebat itu.
Dia dijuluki orang sebagai pendekar pena. Memangnya keterampilan berbahasanya bagaimana?
Oh iyalah, bahasanya kan mengalir betul. Plastis bahasanya. Sekarang yang bisa bahasa yang plastis begitu kan sekarang cuma Goenawan Mohamad.
Di NU kan ada Lesbumi. Pernah ada cerita terkait lembaga itu atu tokohnya?
Iya, waktu Lesbumi didirikan saya jumpa dengan Usmar Ismail di Semarang.
Bagaimana kok dia mau jadi pemimpin lembaga kesenian NU?
Ya, waktu itu kan dia sudah dikenal sastrawan, orang film. Tetapi dia ingin kembali lagi mengingatkan bahwa diri dia itu sastrawan. Pas ketemu di Semarang itu dia meresmikan Lesbumi di Jawa Tengah. Saya dari koran tempo waktu itu. Saya datang ke acara. Ya itu, dia ingin kembali berpikir sebagai sastrawan.