Jakarta, NU Online
Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 Jaminan Produk Halal (UU JPH) disahkan bertujuan memberikan jaminan dan perlindungan tentang kehalalan suatu produk yang digunakan ataupun dikonsumsi masyarakat Muslim Indonesia.
Dengan demikian, sebelum UU ini diterbitkan sertifikasi halal adalah sebuah bentuk kesukarelaan, tetapi setelah UU ini diteken maka sertifikasi halal adalah menjadi sebuah keharusan.
Meski demikian, sampai saat ini para pelaku usaha yang menerapkan UU ini masih sedikit. Sebagian besar dari mereka belum mendaftarkan produknya untuk disertifikasi kehalalannya. Lantas, bagaimana sikap para pelaku usaha terhadap UU JPH ini? Apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan adanya program sertifikasi halal ini? Apakah UU ini kurang disosialisasikan secara masif sehingga banyak pelaku usaha yang belum sadar?
Tahun 2016 Balitbang Diklat Kemenag RImelakukan penelitian terkait hal ini. Penelitian dilakukan di 14 lokasi atau provinsi di Indonesia dan melibatkan 710 orang pelaku usaha.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal. Pertama, pengetahuan pelaku usaha kecil terhadap UU JPH masih rendah. Hal itu disebabkan karena hanya sedikit saja pelaku usaha yang mengikuti sosialisasi tentang UU ini. Dalam hal ini, pemerintah juga sangat minim melakukan sosialisasi terkait UU JPH ini karena terbatasnya anggaran. Tercatat, hanya ada 4 kali sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah (Kemenag) Pusat. Sedangkan Kemenag Provinsi atau Kabupaten atau Kota hanya beberapa kali saja dalam setahun. Hal ini bisa dilihat dari rata-rata indeks kognisi yang hanya pada angka 31,81.
Kedua, para pelaku usaha setuju untuk disertifikasi halal. Sebetulnya, para pelaku usaha sepakat untuk dilakukannya sertifikasi halal pada produk mereka. Mengkonsumsi atau menggunakan produk halal bagi seorang muslim adalah sebuah kewajiban agama yang harus ditunaikan. Mereka juga menilai bahwa sertifikasi halal bisa menunjang dan meningkatkan penjualan produk-produk mereka karena masyarakat muslim yakin bahwa produk mereka memang terjamin kehalalannya. Angka kesetujuan (afeksi) mereka terhadap sertifikasi halal adalah 72,66.
Ketiga, tingkat kemauan (konasi) mereka juga cukup tinggi, yaitu rata-rata 67,06. Selain setuju, mereka juga mau produknya disertifikasi halal.
Namun demikian, ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal, diantaranya biaya sertifikasi dianggap sebagai beban, sertifikasi halal dianggap masih hanya sebagai kewajiban agama, sosialisasi belum maksimal, isu halal masih dianggap sebagai sesuatu yang sensitif, belum adanya kemauan politik yang kuat untuk mendorong pelaku usaha melakukan sertifikasi halal, rendahnya kesadaran masyarakat muslim dalam memperhatikan kehalalan suatu produk, masyarakat belum menjadikan halal sebagai faktor utama dalam memilih suatu produk, dan anggapan bahwa apabila bahan dasar yang digunakan itu halal maka produknya akan halal juga.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan agar UU JPH ini bisa dijalankan secara efektif. Pertama, memaksimalkan sosialisasi UU JPH. Kedua, pemerintah harus segera menyelesaikan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan UU JPH. Seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri Agama.
Ketiga, satu pintu. Seluruh stakeholder instansi/lembaga yang menangani pemberdayaan pelaku usaha adalah Kemenag. Sedangkan Dinas terkait (Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi dan UMKM, Pertanian, Kelautan, dan Kesehatan), serta ormas dan lembaga keagamaan Islam perlu bersinergi dalam meningkatkan produk bersertifikat halal. Terakhir, menambah stimulus untuk membantu para pelaku usaha kecil dalam mengatasi pembiayaan sertifikasi halal. (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)