Pesantren mengalami perkembangan dari segala aspek, baik jumlah (kuantitatif), kualitas dan peranannya. Dari sisi kuantitas, dalam sepuluh tahun terakhir, dari 14.656 pada tahun 2003-2004 menjadi 28.961 pada tahun 2014-2015.
Dari sisi kualitatif, pesantren mengalami beberapa perubahan, yaitu: status kelembagaan, tata pamong, penyelenggaraan program pendidikan, perluasan bidang garap, kekhasan bidang keilmuan, diversifikasi usaha ekonomi, sampai jaringannya.
Sementara dari aspek peranannya, pesantren juga mengalami perkembangan dari mulai sebagai lembaga keagamaan, pendidikan, sosial sampai ke kampung peradaban dan artefak peradaban Indonesia.
Dari hasil survei kapasitas pesantren Puslitbang Penda, 2014 terhadap 783 pesantren yang tersebar di 25 provinsi menunjukkan adanya perkembangan tersebut menjadi dasar akan kebutuhan pengukuran kapasitas pesantren yang memiliki akurasi, dan penetapan komponen-komponennya yang argumentatif secara teoretis, operasional dan terukur. Maka Indeks Kapasitas Pesantren (IKP) tahun 2015 adalah pedoman, penunjuk, dan pengenal atas isi, muatan, kemampuan, kandungan, kesanggupan, kapabilitas, atau “kebolehan” dari suatu pesantren.
IKP disusun bertujuan sebagai pedoman, penunjuk, dan pengenal atas muatan, kemampuan, kandungan, kesanggupan, kapabilitas, atau “kebolehan” dari suatu pesantren di tingkat pesantren dan kota berdasarkan variabel dan indikator yang ditetapkan.
Adanya IKP diharapkan memiliki sejumlah manfaat. Pertama, secara akademis, dapat menunjukkan keadaan kapasitas pesantren. Kedua, bagi perencanaan pembangunan kapasitas pesantren. Data-data yang disampaikan mampu menunjukkan variabel dan indikator mana saja yang tidak atau kurang berkembang dalam pesantren sehingga dapat diketahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk meningkatkan kapasitas pesantren yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil survei pemetaan kapasitas pesantren Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kemenag RI tahun 2014, komponen penyusun IKP tahun 2015 adalah: sumber daya, kepemimpinan, motivasi, dan kebangsaan.
Keempat permasalahan utama ini (main problems) kemudian di-breakdown menjadi: sumber daya manusia, bidang kajian dan keilmuan Islam, sumber daya sarana-prasarana, nilai-nilai pesantren, kemampuan untuk bertahan (survive ability), gaya kepemimpinan kyai, pengambilan keputusan kyai, motivasi ustadz, sikap terhadap tradisi dan perubahan global, dan penanaman dasar dan pilar kebangsaan.
Setelah dilakukan survey kepada beberapa pesantren, nilai kultur pesantren sebagai salah satu variabel pembentuk IKP, indeksnya pada hampir seluruh kota ibu kota provinsi relatif tinggi. Namun pada setiap ibukota provinsi, indeks nilai kultur pesantren tersebut mengandung variabilitas yang tinggi, atau sangat heterogen.
Dengan kata lain, tingginya indeks kultur pesantren belum menggambarkan realitas yang sebenarnya pada segenap pesantren dalam kota yang sama. Hal serupa terjadi pada indeks variabel motivasi ustadz.
Indeks-indeks variabel: SDM, kemampuan bertahan, dan gaya kepemimpinan kiai adalah indeks-indeks yang relatif rendah hampir di setiap pesantren dalam kota yang sama, bahkan juga antar kota ibukota provinsi. Artinya, persoalan-persoalan dinamika pesantren masih terkait dengan kondisi real variabel-varibel tersebut. (Abdullah Alawi)