Balitbang Kemenag

Layanan Pendidikan Agama bagi Siswa Minoritas Terpenuhi

Kamis, 1 Desember 2016 | 07:50 WIB

Tahun ini kabar tentang diskriminasi layanan pendidikan agama dan intoleransi di sekolah tak segaduh tahun sebelumnya. Dua tahun silam, masyarakat dikagetkan dengan ramainya pemberitaan di media massa soal penolakan sejumlah lembaga pendidikan Katolik di Kota Blitar, Jawa Timur, untuk memberikan pelajaran agama non-Katolik kepada siswa beragama lain.

Menyaksikan riuhnya polemik di masyarakat tentang hal ini, secara khusus Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan riset berjudul “Implementasi Kebijakan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah Katolik (Studi Kasus Kota Blitar, Jawa Timur).”

Sebelumnya, pada 2014, publik digegerkan dengan kebijakan sejumlah sekolah di Bali yang melarang siswi muslim mengenakan jilbab. Namun tahun ini berita seputar penyimpangan layanan pendidikan agama bagi siswa, khususnya minoritas di sekolah berciri agama tertentu, nyaris tak ditemukan. Kecuali hanya sejumlah kekhawatiran, misalnya, soal masuknya materi radikalisme di sekolah.

Guru dan Siswa Seiman
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sedari awal telah mewanti-wanti sekolah agar menyediakan pelajaran agama dan pendidik agama sesuai dengan agama peserta didik seperti telah diamanatkan UU Sikdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Menurut Menag, UU tersebut menjamin tak hanya anak usia belajar bisa mengakses pendidikan agama, namun juga jaminan pendidikan agama yang diberikan dan yang diterima anak didik merupakan pendidikan agama yang benar lantaran disampaikan guru seiman.

Ketentuan ini merujuk Pasal 12 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, terutama butir a, bahwa “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak (a) mendapatkan pendidikan sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama!” Bunyi pasal yang menuai kontroversi besar-besaran pada saat penyusunan dan pengesahannya.

Fakta tersebut selaras dengan temuan riset Puslitbang Penda tahun 2015 di sembilan kota: Denpasar, Manado, Ende, Bogor, Bekasi, Jakarta, Pangkal Pinang, Singkawang dan Ambon. Penelitian secara spesifik mendalami sejauh mana layanan pendidikan agama sesuai agama yang dianut siswa pada sekolah jenjang menengah baik negeri maupun swasta di Indonesia sudah terpenuhi. Sekolah sasaran riset dipilih menurut keberadaan minoritas siswa penganut agama tertentu di tengah mayoritas siswa beragama lain.

Sejumlah sekolah yang menjadi sampel antara lain SMAN 1 Denpasar dan SLUA Saraswati Denpasar (mayoritas Hindu); SMA Ananda Bekasi, SMK Bakti Pangkal Pinang, dan SMK Singkawang (mayoritas Buddha); SMPN 2 Ende Flores dan SMAK Santo Yoseph Denpasar (mayoritas Katolik); SMAN 1 Manado, SMK Gloria Manado, dan SMPN 2 Ambon (mayoritas Kristen); serta Labschool Jakarta dan SMAN 1 Bogor (mayoritas Islam).

Ada fakta menggembirakan dari hasil penelusuran sekolah-sekolah berbasis penganut mayoritas Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha tersebut. Melalui pendekatan kualitatif diungkap bahwa pendidikan agama di sekolah dengan peserta didik yang majemuk relatif terlayani dengan baik.

Ketersediaan Guru Agama
Layanan pendidikan agama sesuai agama siswa telah diimplementasikan pada seluruh sekolah lokus penelitian. Layanan itu dibuktikan dengan ketersediaan guru agama yang diperlukan, serta sarana penunjang—kendati dalam jumlah tak ideal—yang berupaya memfasilitasi belajar agama peserta didik sesuai dengan agamanya. Jumlah guru agama di tiap sekolah pun bervariasi, menyesuaikan dengan kuantitas dan ragam agama siswa.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat tiga pola penyediaan guru agama di sekolah untuk melayani pendidikan agama sesuai agama siswa, yakni oleh pemerintah atau pemerintah daerah, oleh sekolah atau yayasan, dan oleh lembaga keagamaan. Penyediaan guru agama oleh pemerintah dilaksanakan sesuai jadwal dan aturan rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS). Sedangkan penyediaan guru agama oleh sekolah, biasanya dilakukan untuk menutupi kekosongan guru agama yang diangkat oleh pemerintah.

Dengan kata lain, ketika pemerintah dalam hal ini Kemenag, tidak menempatkan guru di sekolah tertentu, maka pihak sekolah berinisiatif mengangkat guru honorer dengan persetujuan komite sekolah. Untuk sekolah swasta di bawah manajemen yayasan, pengangkatan guru agama menjadi kewenangan pihak yayasan. Dalam kasus Pemda dan sekolah atau yayasan tidak mampu menyediakan guru agama, sekolah bekerja sama dengan lembaga keagamaan untuk memberi layanan pendidikan agama kepada siswa di sekolah tersebut. Kasus ini terjadi di sekolah dengan jumlah siswa kurang dari 15 orang.

Umumnya, guru pendidikan agama di sekolah menggunakan kurikulum nasional (KTSP dan atau Kurikulum 2013) sebagai acuan dalam mengembangkan materi pelajaran agama. Sekolah menyediakan buku paket pelajaran agama, baik berasal dari pemerintah (Kementerian Agama atau Dinas Pendidikan) maupun dari anggaran sekolah. Guru agama memiliki kewenangan penuh dalam menentukan sumber dan materi pelajaran, membuat perencanaan mengajar, merancang aktivitas pembelajaran, hingga menetapkan nilai rapor mata pelajaran pendidikan agama (evaluasi). Pada beberapa sekolah lokasi penelitian, ditemukan jumlah kepustakaan pendidikan agama dalam jumlah terbatas, khususnya untuk agama dengan jumlah penganut siswa minim.

Selain melalui pendekatan intrakurikuler, penanaman, pembentukan pengetahuan dan keterampilan beragama dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler keagamaan di sekolah dirancang bersama oleh guru dan siswa. Kegiatan tersebut bersifat terbuka untuk semua siswa, baik yang berpenganut agama mayoritas maupun minoritas. Masing-masing siswa juga bebas menentukan jenis dan frekuensi aktivitas sesuai agamanya masing-masing, sepanjang tidak mengganggu jadwal pelajaran dan aktivitas sekolah.

Moving Class
Proses Belajar Mengajar (PBM) secara umum dilaksanakan di kelas dan luar kelas pada jam pelajaran atau di luar jam pelajaran. Siswa agama tertentu dengan jumlah besar akan melaksanakan pembelajaran di ruang kelas sesuai jadwal pelajaran yang sudah ditentukan. Pada jam inilah, siswa yang beragama lain (minoritas) dipersilakan keluar melaksanakan aktivitas sendiri.

Untuk siswa penganut agama tertentu yang berjumlah sedikit, mereka menyesuaikan tempat dan waktu pembelajaran. Tempat pembelajaran dapat menggunakan kelas, perpustakaan, laboratorium atau tempat ibadah. Waktu pembelajaran pada umumnya dilaksanakan di luar jam normal pelajaran. Pada jam normal seluruh siswa dari seluruh agama, mengikuti mata pelajaran umum seperti dijadwal oleh masing-masing kelas.

Dari sederet pola pembelajaran pada sasaran lembaga pendidikan yang diteliti, hal menarik ditemukan di SMAK Santo Yosep Denpasar. Sekolah yang memiliki murid beragama Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu ini menjadwalkan mata pelajaran agama pada hari Jumat untuk kelas 10 dan 11, serta Sabtu untuk kelas 12. Pada hari tersebut terjadi moving class (perpindahan ruang kelas) untuk menempati ruang belajar pendidikan agama sesuai agama masing-masing siswa yang diajarkan oleh guru yang seagama dengan siswa.

Dengan pola tersebut, proses pembelajaran agama di SMAK Santo Yosep Denpasar relatif tertib lantaran digelar secara serentak tanpa pembedaan jam normal dan jam tak normal. Situasi ini juga cenderung membuat peserta didik merasa diperlakukan setara karena seluruh pembelajaran dilaksanakan di ruang kelas, baik bagi siswa mayoritas maupun minoritas. (Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)