Cerpen

Maimun

Ahad, 19 Maret 2017 | 03:05 WIB

Oleh Dwi Putri

Maimun berlari terbirit-birit menenteng sebuah ember hitam. Ini adalah kali keempat aku melihatnya seperti itu. Keadaannya pun sama, sarung melintang di pundak, peci hitam miring, kaos oblong dan celana hitam yang panjangnya selutut.

Sebagai satu-satunya warga kampung Tanjung Tebat yang pernah nyantri, maka tidak heran jika Maimun selalu ditunjuk warga untuk memimpin berbagai macam upacara keagamaan. Pamornya sebagai ustad muda mulai merebak sejak ia dipercaya Pak Lurah untuk menggantikan Nineng Kasno mengimami shalat 5 waktu di masjid.

“Mun, kau kan tahu nineng Kasno sekarang sering sakit-sakitan. Beliau memintaku untuk mencarikan ganti dirinya menjadi imam di masjid. Kupikir kau lebih layak, karena kau satu-satunya lulusan pondok di kampung ini.”

Maimum terdiam. Pak Lurah tersenyum ketir menunggu jawabannya.

“Ha-ha-ha jangan begitulah pak. Hafalan Qur’an saya masih sedikit, nanti bosan pula warga mendengar saya membaca ayat-ayat itu saja.” Maimun tertawa lepas.

“Setidaknya kau lebih fasih bacaannya daripada yang lain. Ayolah, Mun….” Wajah Pak Lurah mulai memelas.

“Lah bagaimana dengan pekerjaanku? Mau makan apa aku sama Ninek Ino nanti ? Bapak kan tahu juragan Ande tidak mau pekerjanya duduk santai sedikit ketika bekerja, ini pula bapak malah suruh saya jadi imam masjid. Juragan pasti tidak akan memberi izin.” Maimun mulai menghisap rokok tembakau.

“Soal itu kau tak usah pikirkan, aku sudah menyiapkan uang bulanan buatmu. Kau berhenti saja bekerja disini.”

“Nantilah, saya pikir-pikir dulu pak.”

“Baiklah. Kalau sudah mantap, langsung datang ke rumahku. Nanti aku akan membawamu ke Nineng Kasno. Saya pulang dulu Mun. Saya ingatkan pada kau, lebih baik jadi imam daripada terus terusan jadi pemerah susu yang gajinya tidak seberapa.”

Maimun terdiam.

“Ha-ha-ha tegangnya kau Mun. Sudah, saya pamit.” Pak RT pergi membawa motor bebek kesayangannya melaju entah kemana.

***

“Entahlah, siapa yang mengambil telur-telur bebek di kandangku. Sudah beberapa kali kudiamkan si maling mencurinya. Awas saja nanti kalau ketahuan, akan kuhabisi.” Pak Kahar merah padam menahan emosinya.

“Punyaku juga! Biasanya aku mengumpulkan telur 6 atau 7 butir sehari, sekarang hanya satu atau dua saja. Kita harus mencari tahu siapa pelakunya. Sudah 8 orang yang sudah menjadi korban. Kalau kita biarkan si maling akan leluasa mencuri dan mencari target selanjutnya. Rugilah kita,” sahut warga yang lain.

“Kita minta bantuan Maimun saja. Bukannya dia orang pintar? Pastilah dia bisa membantu kita mencari tahu siapa pencurinya.”

“Aku setuju, kita minta bantuan Maimun saja.”

Warga akhirnya sepakat meminta bantuan Maimun dalam memecahkan masalah. Mereka beramai-ramai menemui Maimun di gubuk reyot yang hanya beratapkan ilalang, berdinding anyaman bambu, terlihat bolong-bolong di setiap sudut gubuk tua itu.

Maimun terperanjat melihat kedatangan warga. 

“Ini ada apa, Wak? Kok ramai sekali pagi-pagi datang ke sini?”

“Kami perlu bantuanmu, Mun,” ujar Pak Kahar.

“Lah bantuan apa ? Mari duduk dulu di antek * itu, Wak.”

“Bagaimana, Wak?” Maimun membuka bicara di antara mereka.

“Begini, Mun, sudah beberapa hari ini warga banyak yang melapor kehilangan telur-telur bebek di kandang. Sekarang sudah 8 orang yang dicuri. Kalau kita biarkan nanti pasti dia akan mencari target lain. Kami butuh bantuanmu, Mun. Kau kan pintar, pastilah kau tahu bagaimana jalan keluarnya.”

“Wah, saya tidak bisa, Wak. Kalau saya pintar, tidak mungkinlah saya hidup melarat terus seperti ini ha-ha-ha.”

“Kami serius, Mun, telur-telur itu sekarang satu-satunya sumber ekonomi kami. Musim sedang tidak bersahabat dengan petani macam kita. Tanaman tidak tumbuh-tumbuh dan sawah kering kerontang karena kemarau panjang.”

“Wak, salah orang ini. Seharusnya Wak lapor ke Pak Lurah, bukan saya.”

“Benar juga yang dikatakan Maimun. Kita lapor ke Pak Lurah,” sahut yang lain.

Pak Kahar manggut-manggut mendengar saran Maimun, ”Tapi kau kan orang pintar Mun. Ayolah bantu kami.”

“Tidak bisa, Wak.”

“Aneh kamu, Mun…”

“He-he-he aneh apanya, Wak. Biasa saja, saya tidak enak melangkahi kewenangan Pak Lurah. Nanti saya dikira ngebet pengen jadi Lurah ha-ha-ha.”

“Tapi ya sudahlah, tidak apa-apa Mun. Ninek Ino mu bagaimana keadaannya ?”

“Beliau baik-baik saja, Wak….”

“Syukurlah kalau begitu. Kami pamit pulang dulu Mun. Maaf pagi-pagi sudah mengganggumu. Oh iya tadi pagi kau tidak imam shalat di masjid, kenapa ?”

“Saya kurang enak badan, Wak.”

“Semoga lekas sembuh, Mun. Kami sangat butuh orang sepertimu.”

Maimun hanya tersenyum.

***

“Tidak salah lagi. Pasti dia pencurinya. Tadi siang aku lihat dia pergi ke salah seorang pengepul telur. Bukannya dia tidak ada bebek ?”

“Aku tidak percaya, kita kan tahu dia seperti apa orangnya. Tidak mungkinlah dia melakukannya.”

“Kau mungkin salah orang.”

“Atau mungkin dia membeli telur. Jangan buruk sangka.”

Warga kampung Tanjung Tebat mulai memanas kembali dengan tersebarnya berita perihal pencuri telur bebek.

“Kita datangkan saja dia ke sini.”

“Tidak, kita ajak saja dia ke kantor kelurahan. Nanti biar Pak Lurah yang mengintrogasi.”

“Betul kata Pak Kahar. Kita bawa saja dia ke kantor kelurahan.”

Warga berbondong-bondong menuju kantor lurah. Pak Lurah sebenarnya sudah tahu tentang isu yang beredar di masyarakat. Tapi beliau tak ambil pusing dengan hal tersebut, toh warga tidak memberikan laporan.

“Ini ada apa? Kok main kasar begitu ?”

Pak Kahar menceritakan duduk permasalahannya pada Pak Lurah. Menanggapi hal tersebut, Pak Lurah hanya tersenyum.

“Benar begitu, Mun? Kau mencuri telur-telur milik warga ?” Pak Lurah beralih ke arah Maimun.

“Sumpah, Pak, saya tidak mungkin melakukan hal itu,” jawab Maimun sambil sesekali meringis kesakitan akibat memar digebuki warga.

“Sudahlah, Mun, mengaku saja. Sudah jelas-jelas tadi siang Pak Mulya melihat kau datang ke pengepul telur membawa ember hitam. Kami sudah sangat percaya denganmu Mun, tapi ternyata kelakuanmu begini.” Pak Kahar menimpali.

“Astaghfirulah, Wak. Saya datang ke pengepul telur hanya membeli beberapa untuk lauk makan dengan Ninek Ino. Soal ember hitam, itu hanya berisi air yang saya ambil di perigi pinggir dusun.”

“Lalu kenapa setiap shalat Isya dan Shubuh kau jarang hadir? Nineng Kasno malah yang jadi imam, seharusnya kan kau, Mun.”

“Waktu Isya dan shubuh saya harus menunggui Ninek Ino. Pak Lurah sudah tahu hal tersebut, beliau memberi izin sampai kesehatan Ninek Ino pulih !!” Suara Maimun mulai meninggi, ”securiga itu bapak ibu sekalian dengan saya?”

Pak Kahar sinis melihat Maimun, ”Ya seharusnya kau memberi tahu keadaanmu dan Ninek Ino, biar kami tidak curiga.”

Maimun terdiam. Wajahnya merah padam.

“Pak Kahar, bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Saya mohon maaf belum bisa mengambil keputusan perkara ini. Kalian belum ada bukti menyangka Maimun sebagai pelakunya.”

Suasana hening.

“Saya yakin Maimunlah pelakunya.” Pak Kahar nyeletuk.

Gubraakkkkkkk! 

Meja yang terbuat dari kayu jati di depan Maimun seketika hancur berkeping-keping. Warga yang terkena serpihan kayu meringis dan bergerak menjauh. Mata Maimun menyala-nyala. Sebagian warga menggigil ketakutan melihat perubahan Maimun. Napasnya tersengal-sengal menahan amarah yang sedemikian memuncak.

“Atas dasar apa Wak menuduh saya? Hanya karena saya membeli telur dari pengepul, tidak menjadi imam shalat Isya dan Shubuh, membawa ember hitam lantas Uwak menuduh saya yang mencuri? Hidup saya memang melarat, Wak. Tapi tidak pernah terlintas dibenak saya untuk mencuri walau dalam keadaan terdesak.” 

Hidung Maimun kembang kempis. Matanya menatap tajam ke arah Pak Kahar. Nyali Pak Kahar ciut untuk membalas tatapan menyala Maimun.

“Sabar, Mun. Ini hanya kesalahpahaman saja.” Pak Lurah mencoba menenangkan Maimun.

“Ini sudah keterlaluan Pak. Ninek Ino melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana saya digebuki warga. Saya takut beliau tambah drop melihat saya.” 

Air mata Maimun mulai jatuh.

“Ibu-ibu dan bapak-bapak, saya sarankan semuanya pulang dulu ke rumah masing-masing. Masalah ini insyaallah akan kita usut sesegera mungkin.”

Satu per satu warga mulai meninggalkan kantor kelurahan. Maimun masih duduk di kursi. Sesekali ia menyeka airmatanya.

“Mun, nanti malam pukul 10 kau temui aku di sini. Aku yakin kau bukan pelakunya.” Maimun masih terdiam.

“Sekarang pulanglah, Mun. Bilang pada Nek Ino kalau warga hanya salah sangka.”

Maimun berdiri dan memaksa dirinya untuk tersenyum. Langkahnya lunglai dan agak pincang. Terlihat baju bagian lengan kirinya sobek

Malamnya.

“Kok? Ini ada apa pak ?”

“Sudah. Nanti kuberitahu di jalan.” Pak Lurah mengajak Maimun dan 3 orang asistennya pergi ke arah kampung.

Pak Lurah, Maimun dan 3 asistennya mengendap-endap memastikan jika ada hal yang mencurigakan. Tengah malam mereka masih berkeliling di sekitaran kampung.

“Mun Mun, kau melihat apa yang kulihat?”

Maimun menggelengkan kepala.

“Coba lihat di sana, Mun!”

Maimun memasang matanya mencari sosok yang ditunjukkan pak Lurah,“Itu, itu, itu kan…” Maimun gelagapan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dan……

***

“Aku minta maaf, Mun, karena aku, kamu kemarin dihakimi warga. Apa pun hukuman yang kau berikan akan aku terima, Mun.”

“Saya kecewa dengan Wak. Wak kemarin yang mengadu domba warga menuduh saya yang bukan-bukan. Ternyata Wak sendiri pelakunya. Saya sudah memaafkan Uwak, lalu bagaimana dengan warga kampung ?”

“Saya menyesal, Mun.” Pak Kahar tertunduk lesu.

“Untung Wak ketahuan oleh saya dan Pak Lurah. Kalau Wak ketahuan dengan warga, mungkin Wak akan babak belur seperti saya. Uwak harus mengganti semua kerugian warga.”

“Iya Mun, saya berjanji. Tapi maafkan saya, Mun, saya mungkin tak akan mampu membayar seluruh kerugian warga.”

“Semampunya dan usahakan bisa semua.”

Pak Kahar merangkul Maimun erat. Ia menangis seperti anak kehilangan induk. Maimun melepaskan pelukan Pak Kahar dan menjauh dari kantor kelurahan.


Penulis adalah mahasiswi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Antek: sejenis bangku yang terbuat dari bambu, tempat biasanya warga Sumatra Selatan duduk-duduk di kala istirahat