Cerpen

Para Mantan Petani

Ahad, 26 Maret 2017 | 08:01 WIB

Oleh Abdullah Zuma

Pagi dengan cangkul tak mengayun, arit tidak menyabit. Petani tidak kemana-kemana karena sawah bukan milik mereka dan tak mungkin ditanami lagi. Sekeliling kampung mereka tanah menganga belasan meter. Isi perutnya diangkut truk-truk siang malam, bertahun-tahun. Nganga tanah terassering. Bagian dalamanya, menyerap air sumur mereka. Sementara bagian atasnya bebatuan tanpa kehidupan.  

Sebagian petani itu memang memiliki huma agak jauh dari kampung mereka. Tapi sudah pindah tangan ke orang kota dengan cara yang sah. Kebun di atas bukit berganti jadi vila dengan cara yang sah juga. Tak ada alasan mereka untuk memintanya lagi.

Mereka kemudian kehilangan ritualnya dengan tanah. Kemudian hanya termangu menunggu apa menunggu siapa. Menunggu. Bosan menunggu, mereka mengasah. Petani pemilik golok, mengasah golok. Petani lain mengasah cangkul. Petani lain mengasah arit. Setelah tajam mereka tak tahu untuk apa. Sungguh tajam tak berguna. Tapi besoknya mereka mengasah lagi. Mengasah dan mengasah.

Mereka memang sekarang tidak ke sawah, tidak ke huma, ke kebun. Mereka tidak capek, tapi justru tak berkeringat dan tak tahu apa yang harus dikerjakan lebih menyengsarakan daripada bekerja seharian.

Pagi lain, ketika matahari sepenggalah, tiga mantan petani dengan alat pertanian tajam berpapasan di pertigaan di tengah kampung mereka, di bawah dua pohon kwini besar berdempetan. Di situlah satu-satunya tanah lapang mereka. Persis di bawahnya tersedia bangku memanjang, tempat duduk anak-anak muda yang dulu ramai menjelang seore sampai larut malam. Kini tidak lagi. Sebagian mereka pergi ke luar kampung untuk mencari pekerjaan. Tapi tak pulang-pulang tanpa kabar. Sebagian anak muda tetap bertahan, karena keluar kampung, meski jelas tujuannya, tapi tak tahu caranya, sama dengan membuang diri.    

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” kata pengasah golok sambil melempar rokok kretek terakhirnya yang memuntung. Ia bertanya kepada dua temannya, tapi tatapannya ke puntung yang masih berasap. Tatapannya seolah mengatakan, kapan bisa mengisap rokok lagi.

“Ya, apa yang harus kita kerjakan?” pengasah cangkul malah balik tanya.

“Bukankah kita sekarang punya pekerjaan baru?” pengasah arit berkata.

“Pekerjaan apa?” pengasah cangkul dan pengasah golok bertanya hampir berbarengan. Kata “pekerjaan” begitu berharganya bagi mereka, seperti orang lapar melihat nasi.   

“Mengasah barang-barang pertanian milik kita,” kata pengasah arit.

“Tapi kita akan kehabisan bahan makanan,” kata si pengasah golok yang masih menatap  puntung yang kini tak berasap sama sekali.

"Ya. Padi akan akan habis karena kita tak menanamnya. Padi tak bisa ditanam di atas genting rumah kita,” kata pengasah cangkul.

“Beras tinggal beberapa jumput. Tiap hari istriku marah,” ratap pengasah golok. Kini tatapannya pada semut rangrang yang beriringan di pohon kwini. Ia bicara seolah untuk dirinya sendiri karena malu, terdengar semut itu, betapa tak berharganya ia di hadapan keluarga.

“Lama-lama, kalau begini kita bisa mati,” kata pengasah cangkul.

“Ya, kita bisa mati,” tambah pengasah golok pelan.

“Semua memang akan mati,” kata pengasah arit.

“Aku tak mau mati sementara cangkulku tajam.”

“Aku juga tak rela, sementara golokku tajam.”

“Jangan banyak bicara. Lebih baik kita mengasah saja. Mungkin saatnya nanti bisa kita gunakan kembali. Sementara, kita jaga jangan sampai berkarat.”

“Sampai kapan?”

“Sampai saatnya nanti.”

“Saatnya nanti itu kapan?”

“Mmm...aku juga tidak tahu.”

“Huh...!”

“Daripada kita hanya bicara lebih baik kita mengasah,” katanya membela diri. Kalau tidak mau, ya sudah aku tidak memaksakan. Kita para petani tidak pernah saling memaksa. Tanganku sudah gatal. Aku mau mengasah saja,” katanya ngeloyor pergi untuk mengasah arit yang tak perlu diasah lagi.

***
Keesokan harinya tiga orang itu bertemu lagi di bawah pohon kwini dempet. Ternyata pengasah golok mengajak beberapa pengasah golok lain. Pengasah cangkul mengajak banyak pengasah lain. Pengasah arit diikuti pengasah parang, pengasah ketam dan pengasah-pengsah lain.

Lalu pengasah-pengasah itu saling mengemukakan pertanyaan. Kalaupun ada yang menjawab, justru jawaban berbentuk pertanyaan.  

“Masa kita mengasah terus?”

“Mau apa lagi?”

“Kita mesti melakukan sesuatu.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Sekarang aku belum tahu. Coba kita pikirkan.” Kali ini si pengasah parang mengajak, tidak bertanya.

“Aku sudah jarang berpikir. Aku biasanya bekerja. Bukan berpikir.”

“Bukankah saat bekerja juga berpikir?” tanya si pengasah arit.

“Aku tidak tahu.”

“Aku rasa tidak. Bekerja ya bekerja. Bepikir ya berpikir. Dua hal yang berbeda.”

“Iya. Saat aku bekerja rasanya aku tak berpikir. Aku hanya mengayunkan cangkul, kemudian otot-ototku keluar dan sekujur tubuhku berkeringat,” kata yang lain menambahkan.

“Betul! Saat bekerja kita tidak menggunakan pikiran tapi meggunakan otot.”

“Tapi ada benarnya apa yang dikatakan pengasah parang. Kalau tidak berpikir, apakah pekerjaan kita akan selesai?” tanya pengasah arit.

Semuanya diam.

“Maksudnya?” salah seorang minta penjelasan.

“Coba orang gila kita kasih cangkul. Kita suruh mencangkul sawah. Apakah akan selesai?”

Terdiam.

“Apakah dia akan bisa membuat pematang sawah yang bagus sepert kita? Dan bagiku tidak hanya orang gila, coba orang kota suruh bikin pematang sawah, pasti berantakan. Membikin pematang itu, berarti kita membikin tanggul dengan kaki, tapi harus selaras dari ujung ke ujung. Harus rata. Bukankah waktu membikinnya kita berpikir, menghitung, mengira-ngira apakah pematang ini bagus atau tidak. Bahkan bagiku tdak hanya berpikir, tapi berseni. Coba kalau anak kecil bikin pematang, pasti serampangan. Kita akan malas melihatnya. Kita tidak menyadari bahwa itu berpikir dan seni karena kita terlau sering melihat itu. Jadi bisa dikatakan kita berpikir dan hasilnya karya seni.”

Semuanya tetap terdiam.

“Kalau kita lacak lebih jauh, masih ingat bagaimana orang tua kita dahulu menciptakan perhitungan lewat bintang. Mereka bisa menentukan kapan waktunya menanam padi dengan baik, menghindar pada waktu yang jelek. Menciptakan alat-alat pertanian. Kenapa pula kita jangan menumbuk padi pada hari Senin, dilarang menebang bambu pada hari Sabtu. Itu hasil penlitian orang tua kita berdasarkan pengalaman terus menerus,” pengasah arit menambahkan.

“Petani juga berpikir...” gumam seseorang di belakang dengan tatapan kosong.

Semuanya masih terdiam.

"Kalau tidak berpikir, bagaimana mungkin kita bisa menjual padi, menghitung kilo, membayar pajak, membayar pembajak sawah. Kita berpikir. Cuma kita tidak merasa kita berpikir,” kata pengasah arit lagi.

“Tapi apa untungnya kita berpikir. Katakanlah kita memang bisa berpikir, tapi buat apa sementara yang kita butuhkan adalah beras. Beras itu berasal dari padi. Padi itu harus ditanam. Dan sudah kubilang padi tak hidup di atas bubungan rumah atau batu kali,” kata pengasah cangkul.

Pengasah arit diam tak berkutik.

Kemudian mereka pulang. Tapi kata-kata itu “petani berpikir” masih menyelinap dalam otak masing-masing. Pada malam harinya mereka susah tidur, membayangkan dan mengutak-atik istilah yang muncul di bawah batang kwini, “petani berpikir”. Yang bisa tidur, mereka mimpi tentang “petani berpikir”.

***

Pagi esoknya, mereka berkumpul kembali. Yang datang makin bertambah. Tentunya mereka setelah mengasah golok, pisau, parang dan cangkul, ketam dan alat-alat pertanian lain. Bahkan bebera perempuan dan anak-anak turut serta.

“Ya, aku rasa kita berpikir. Kita tidak hanya bekerja.”

“Kalau kita sudah merasa berpikir, kenapa?”

“Kita harus melihat dulu, guna berpikir untuk apa,” kata pengasah parang.

“Berpikir ya untuk memikirkan sesuatu. Misalnya persoalan. Tinggal kita tentukan soalnya apa? Lalu berpikirlah kita,” jawab pengasah ketam yang semalaman tak bisa tidur.  

“Bagiku berpikir dan tidak, sama saja,” kata pengasah cangkul.

“Jangan berkata seperti itu! Menurutku, persoalan kita adalah kita akan mati kelaparan. Lalu bagaimana caranya supaya tidak mati kelaparan?” kata pengasah parang.

“Atau kita cari tahu dulu, apa sebabnya kita takut kelaparan,” kata pengasah arit.

“Kalau itu pertanyaannya, kemarin sudah aku jelaskan, kelaparan disebabkan makanan. Makanan kita beras. Jadi yang kita butuhkan adalah beras. Beras itu berasal dari padi. Padi itu harus ditanam. Dan sudah kubilang padi tak hidup di atas bubungan rumah atau batu kali

“Tanah.”

“Tanah!”

“Ya, tanah!”

Tapi kemudian mereka diam lama sekali. Buntu.  

"Jika bertemu dengan soal tanah, aku rasa tak mampu berpikir lagi. Jangankan memikirkannya, mendengarnya saja aku tidak mau."

“Aku juga begitu. Jika mendengar kata “tanah”, tiba-tiba saja kepalaku sakit. Tidak bisa membayangkan, apalagi memikirkannya. Mengucapkannya pun aku tak mau.”

“Berarti omong kosong “petani berpikir” kemarin itu,” gugat salah seorang sambil menatap tajam pengasah arit.  

Orang-orang di bawah pohon kwini dempet itu kini semuanya menatap pengasah arit. Pandangan menggugat. Sementara yang dipandang hanya tertunduk.

“Apa kalian bisa menunggu?” tanya pengasah arit, menatap mereka satu per satu.

“Aku tidak bisa menunggu.”

“Ya, aku juga tak bisa menuggu.”

“Menunggu apa dulu?”

“Menunggu hasil pikiranku,” kata pengasah arit.

“Berapa lama?”

“Aku tidak tahu. Tapi aku akan berusaha,” jawabnya.  

“Ah, menuggu hasil berpikir, artinya mati karena menunggu juga perlu makan,” kata si pengasah cangkul.

“Betul”

“Ya, kita bisa mati."

“Mati saat menunggu hasil orang berpikir dalam keadaan lapar, menurutku ini mati dengan terhina dua kali lipat. Kalaupun mati, kita mati dengan cara terhormat. Malu sama nenek moyang!" kata-kata si pangasah cangkul itu benar-benar membungkam si pengasah arit.  

"Terhormat, maksudmu berarti soal cara kita mati?" si pengasah parang bertanya.

"Ya!"

“Bagaimana cara mati terhormat?”

***

Pagi yang sudah disepakati, mereka berjalan beriring-iringan dengan alat pertanian yang baru saja diasah setajam-tajamnya. Kali ini istri dan anak mereka dibawa serta ke tanah lapang di bawah pohon kwini dempet Tak ada yang tersisa di rumah. Tua dan muda tak ingin ketinggalan.

Lalu, ketika matahari mulai menyengat, menerobos daun-daun kwini dempet, arit mulai dikalungkan kepada leher. Golok dihadiahkan kepada jantung. Cangkul diarahkan ke kepala. Parang menggapai-gapai perut. Alat-alat pertanian mereka yang diasah tiap pagi itu, kini berguna kembali. Mereka menggunakannya dengan suka cita.

Pondok Gede, 29 Mei 2014