Cerpen: Ahmad Zaini
"Aku tidak mau menerima nafkah darimu. Silakan kaugunakan sendiri uang itu. Jangan pedulikan aku!" Rosita menolak nafkah yang diberikan Sobirin, suaminya. Kata-kata penolakan inilah membuat Sobirin berhari-hari tidak bisa tidur nyenyak. Setiap hendak memejamkan mata, kelopak matanya seakan terganjal oleh kata-kata istrinya. Seorang istri yang terang-terangan menolak nafkah dari suaminya.
Sobirin bertopang dagu. Dia tidak bisa menyembunyikan kekecewaaanya. Rosita yang dulu kalem dan selalu patuh padanya, kini berubah. Dia selalu menolak nafkah darinya. Rosita mengaku mampu hidup sendiri tanpa nafkah suaminya. Rosita lupa bahwa kebahagiaan berumah tangga bukan masalah nafkah lahir belaka. Ada banyak faktor untuk menciptakan keluarga idaman.
"Ketenteraman dan kebahagiaan sebuah keluarga ukurannya bukan uang. Saling menyanyangi, menghargai, dan saling mengerti menjadi hal utama dalam berkeluarga," pesan Kiai Amin saat mereka berdua duduk di pelaminan dua puluh tahun silam.
Apakah ini siasat Rosita agar bisa hidup bebas, berbuat semaunya sendiri sehingga dia selalu menolak nafkah darinya, pikir Sobirin dalam hati. Lantas bagaimana Sobirin menunaikan kewajibannya sebagai suami? Bagaimana dia mempertanggungjawabkannya kelak di pengadilan Allah. Sobirin cemas. Dia khawatir divonis Allah masuk neraka karena tidak menafkahi istrinya.
Kecemasan Sobirin sangat beralasan. Dia berani menikahi Rosita dua dekade silam karena dia mampu memberi nafkah. Dia bekerja sehari-hari juga dalam rangka mencarikan nafkah buat anak dan istri. Ketika hasil jerih payahnya dicampakkan oleh istrinya, betapa kecewanya Sobirin. Usahanya terkesan sia-sia. Sobirin merasa percuma bekerja sehari-hari bila nafkahnya selalu ditolak istri.
"Sejak kita menikah, aku tidak pernah meminta nafkah darimu," kata Rosita ketika terlibat dalam percekcokan dengan Sobirin.
"Aku menafkahi dirimu bukan karena permintaanmu. Aku ikhlas melaksanakan kewajiban atas perintah Allah. Kewajiban suami kepada istri," bantah Sobirin di hadapan Rosita yang bola matanya melotot hendak keluar.
"Pokoknya jangan memberiku nafkah lagi. Aku bisa hidup sendiri," pungkas Rosita dengan sombong.
Sobirin menenangkan diri. Ia tidak mau berdebat lagi dengan istrinya tentang nafkah. Sobirin berusaha sabar menghadapi sikap istri yang akhir-akhir ini mulai berani kepadanya. Sobirin berprinsip dia tidak akan berhenti bekerja mencarikan nafkah anak-istrinya. Rosita menolak atau menerima bukan urusannya.Yang terpenting Sobirin tetap melaksanakan kewajiban sebagai seorang suami.
Sikap Rosita yang selalu menolak nafkah menjadi penghalang pahala Allah buat Sobirin. Sama halnya para dermawan yang hendak mengeluarkan zakat mal atau harta benda, namun tidak ada orang yang mau menerimanya. Maka orang itu gagal mendapatkan pahala. Atau bisa lebih parah dari itu.
Nafkah buat keluarga merupakan keniscayaan dalam sebuah keluarga. Oleh karenanya, syarat utama remaja yang ingin menikah harus menyatakan diri mampu memberi nafkah lahir maupun batin kepada istrinya. Banyak remaja yang tidak berani menikah karena merasa belum mampu memberi nafkah kepada calon istri.
Lelaki yang telah dikaruniai dua anak sering berpikir keras. Dia mencari cara yang elegan agar istrinya tidak menjadi penghalang dirinya dalam melaksanakan kewajiban. Sobirin bingung mencari penyebab sang istri yang selalu menolak nafkahnya. Terkadang dia berpikir apakah polahnya akhir-akhir ini yang selalu mengabaikan perintah suami ada sangkut pautnya dengan penolakan nafkah. Jangan-jangan ada nafkah lain dari orang ketiga? Nauzubillah, Sobirin menangkis prasangka yang tidak diinginkan ini.
Pernah suatu ketika Sobirin menanyakan barang baru di rumah kepada Rosita. Dia membeli barang itu dengan uang dari mana? Wajar sekali Sobirin menanyakan hal itu karena nafkahnya selalu ditolak istrinya.
"Tidak usah bertanya tentang barang itu," larang Rosita dengan nada kasar.
"Tapi barang ini untuk apa?" tanya Sobirin dengan kesal.
"Ini pakai uangku sendiri. Barang ini bebas aku gunakan untuk apa pun. Kamu tidak berhak bertanya. Toh, andai aku minta padamu, pasti tidak kamu turuti."
"Subhanallah! Kebutuhan keluarga kita banyak. Kita harus memprioritaskan kebutuhan yang paling penting dulu. Yang kurang atau bahkan tidak penting, tidak usah dibeli."
"Cukup. Tidak usah didebatkan lagi. Barang ini kubeli dengan uangku sendiri. Bukan uang darimu. Selama ini aku tidak pernah meminta uang darimu," kata Rosita yang selalu mengulang-ulang kalimat tidak pernah meminta uang dari Sobirin.
Sobirin menghela napas panjang. Dia mendinginkan batok kepalanya karena terbakar oleh kata-kata Rosita. Dia sempat tertegun mendengar ucapan Rosita. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu kepadanya.
"Sejak awal kita menikah, kamu belum pernah sekali pun mengenakkan aku," imbuh Rosita.
"Apa katamu? Belum pernah mengenakkanmu?"
"Iya, betul. Memang kenapa?" tantang Rosita dengan mata menantang ke wajah Sobirin.
"Astaghfirullahal adzim. Teganya kamu berkata seperti itu kepadaku,” kata Sobirin dengan wajah merah-biru. "Ayo, kita bersama-sama belajar bersyukur kepada Allah. Sudah banyak anugerah Allah yang dilimpahkan kepada kita."
"Bisanya ceramah saja. Itu ke masjid kalau mau ceramah," ucap Rosita sambil meninggalkan suami yang masih tidak percaya terhadap sikapnya.
"Jangan begitu. Syukuri apa yang telah Allah beri. Jangan sampai kita mengingkarinya karena Allah tidak kesulitan mengambil anugerah yang telah kita nikmati selama ini," kata Sobirin dengan suara keras agar didengar oleh Rosita.
Rosita bergeming. Dia tetap nyelonong ke ruang belakang. Hatinya telah tertutup oleh kesombongan karena merasa bisa hidup tanpa nafkah suami
***
Suatu sore ketika Sobirin pulang dari kerja di rumah tampak sepi. Dia memanggil-manggil istrinya, namun tidak ada jawaban. Di ruang belakang juga tidak ada orang. Hanya ada beberapa perabot dapur yang masih berantakan. Sobirin lapar. Dia mendekat ke arah bakul nasi di atas meja makan. Ternyata bakul itu masih kosong. Sobirin ke rumah Lastri-teman akrab Rosita- yang berada di samping rumahnya untuk menanyakan keberadaan istrinya. Lastri juga tidak tahu. Sobirin meminta tolong Lastri untuk meneleponkan istrinya. Namun, beberapa kali panggilan Lastri belum dijawab Rosita. Padahal, status di layar hape berdering.
Ketika Sobirin dan Lastri sedang panik, tiba-tiba Rosita terlihat berlari-lari lalu menyelinap masuk ke rumahnya. Spontan keduanya menyusul Rosita.
"Ros, ada apa?" tanya Lastri.
"Ada apa? Ayo buka pintu!" sambung Sobirin.
Pintu kamar dibuka dari dalam. Sobirin dan Lastri melihat Rosita tertelungkup menutup wajah. Sobirin membalik tubuh Rosita dengan dibantu Lastri.
"Aku kena tipu,” kata Rosita tiba-tiba sambil merangkul Lastri sambil menumpahkan tangis di pundak.
"Maksudmu?” tanya Sobirin sambil tetap berdiri di belakang Lastri dan Rosita yang masih berangkulan.
”Senang, ya, aku kena tipu?” pertanyaan balik Rosita kepada Sobirin dengan sinis.
”Jangan begitu, Ros! Dia itu suamimu,” sergah Lastri.
Sobirin melangkah pelan keluar dari kamar. Dia merasa keberadaanya di dalam kamar tidak dikehendaki oleh Rosita. Sobirin membiarkan mereka berdua dalam kamar agar istrinya bebas mencurahkan masalahnya kepada Lastri.
Tak berselang lama Lastri keluar sambil menggandeng Rosita. Mereka duduk menghadap Sobirin. Lastri memulai perbincangan di ruang yang sempat sepi. Dia membantu Rosita mengungkapkan kata-kata yang terhalang oleh sikap ego sendiri. Rosita malu menyampaikan langsung kepada suaminya.
”Rosita memohon maaf padamu. Dia merasa berdosa dan terkena karma atas sikap cueknya kepadamu. Dia baru sadar bahwa dirimu memang suami yang bertanggung jawab. Sosok suami yang bisa mengemban amanat terhadap istri dan anak-anak. Rosita pasrah pada keputusanmu. Meminta maaf atau menolaknya. Bahkan, Rosita siap kauceraikan sebagai hukuman dari kelakuannya,” kata Lastri menjelaskan prahara yang melanda jiwa Rosita.
Sobirin mengangguk. Dia berlapang dada memaafkan semua kesalahan Rosita. Sobirin bersyukur karena Allah telah menegur dan membuka hati istrinya. Sobirin berharap kejadian ini menjadi pelajaran buat istrinya supaya tidak menolak nafkah suami.
Suasana hening setelah Lastri berpamitan pulang. Suami-istri ini perlahan menautkan hatinya yang sempat renggang. Mereka membuka hati untuk bisa saling memahami dan mengerti tugas serta kewajiban masing-masing. Mereka akan menjadi bunga-bunga dalam keluarga dengan aroma harum sepanjang masa. Mereka ingin anak-anak bahagia berada dalam taman keluarga yang diidam-idamkan selama ini. (*)
Lamongan, 2 Desember 2024
Ahmad Zaini merupakan cerpenis dan ketua Lesbumi PCNU Babat.
Terpopuler
1
Doa Rajab yang Dipanjatkan Rasulullah
2
Data Hilal Penentuan Awal Bulan Rajab 1446 H
3
Apa Itu OCCRP dan Bagaimana Mereka Memilih Orang Paling Korup Sedunia?
4
Lembaga Falakiyah PBNU: Awal Rajab 1446 H Jatuh Rabu Esok
5
Sejarah JATMAN (1): Nilai-Nilai Ahli Tarekat, Kongres Pertama, dan Ilham Dua Kiai
6
Menggabungkan Puasa Rajab dengan Qadha Ramadhan
Terkini
Lihat Semua