Malik Ibnu Zaman
Kontributor
Malam itu, langgar terasa sepi dan hening. Hanya lima orang yang tampak khusyuk melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Di barisan depan, Kiai Manan, sosok yang telah dua puluh tahun meninggalkan kampung halamannya, kembali berdiri di antara mereka.
Usai shalat, dengan sorot mata penuh tanda tanya, ia menoleh ke arah jamaah dan bertanya, "Ke mana gerangan warga yang lain?" Sebuah pertanyaan yang menggantung di udara, menorehkan rasa kehilangan dan kerinduan pada wajah-wajah yang tersisa, seakan mencerminkan cerita yang tak terucap selama dua dekade kepergiannya.
"Begini, Kiai..." Haris mencoba berkata, namun suaranya tersendat, terbata-bata seolah mencari kata yang tepat. Kebingungan tergambar jelas di wajahnya, seakan beban yang dipikulnya terlalu berat untuk diungkapkan dengan mudah. Kiai Manan menatapnya dengan sabar, menunggu Haris untuk menemukan kekuatan dalam dirinya.
Sebelum Haris sempat melanjutkan perkataannya yang tertahan, aku memutuskan untuk berbicara. "Kampung ini sudah banyak berubah, Kiai," ucapku pelan, berharap Kiai Manan dapat memahami beratnya kata-kata itu. Namun, raut wajahnya menunjukkan kebingungan.
Aku pun melanjutkan, menjelaskan bahwa lima tahun setelah Kiai Manan pergi, hutan di sebelah utara desa yang dulunya rimbun dengan pohon-pohon besar telah berubah menjadi tambang emas. Tua, muda, hingga para laki-laki berbondong-bondong bekerja di sana, mendirikan gubuk-gubuk darurat di sekitar tambang. Akibatnya, rumah-rumah di kampung ini kini kosong, sepi, seperti kehilangan jiwanya.
"Ya Allah," desah Kiai Manan, keningnya berkerut dalam. "Bagaimana dengan pihak desa? Tidakkah mereka mencegah semua itu?" tanyanya dengan nada prihatin. Aku menghela napas sebelum menjawab, "Kas desa kini bergantung pada uang dari tambang, Kiai. Bahkan, masjid jami dan langgar di kampung ini pun dibiayai dari sana." Suaraku terdengar getir, seolah-olah kata-kata itu sendiri membawa beban yang tak tertanggungkan.
Aku sudah bisa menebak pertanyaan berikutnya dari Kiai Manan. Aku sangat mengerti bagaimana dia dulu begitu berusaha melindungi hutan di sebelah utara desa ini. Melalui cerita-cerita tentang keangkeran hutan itu, dia berhasil membuat kami, anak-anak kecil, tak berani mendekatinya. Kini, sebagai orang dewasa, aku sadar akan tujuan sebenarnya, Kiai Manan ingin hutan itu tetap lestari, menjaga keseimbangan alam yang begitu berharga.
Dulu, aku sering heran, berpikir, bagaimana mungkin seorang kiai bisa takut pada demit. Tapi sekarang, aku paham, semua itu bukan tentang ketakutan, melainkan tentang cinta pada alam yang tak ingin ia lihat hancur.
Sebelum Kiai Manan sempat mengajukan pertanyaan lebih lanjut, aku buru-buru bertanya, "Apakah Kiai sudah bertemu dengan Gus Yunus, keponakan Kiai?"
Kiai Manan menggelengkan kepala dengan raut wajah penuh kebingungan. "Sudah dua hari aku di kampung ini, tapi belum juga bertemu dengan Yunus," jawabnya. "Aku heran, mengapa ia tak kunjung datang menemuiku, padahal sudah sekian tahun kami tak berjumpa." Ada nada kecewa dan sedikit kesedihan dalam suaranya.
Kemudian Kiai Manan bercerita bahwa sore tadi ia sempat mendatangi rumah keponakannya, Yunus. Namun, yang ditemuinya hanyalah rumah kosong, sepi tanpa tanda-tanda kehidupan.
Kemudian aku menjelaskan kepada Kiai Manan bahwa lima tahun setelah kepergiannya, sebuah perusahaan swasta datang ke kantor desa. Mereka membawa kabar bahwa hutan di sebelah utara mengandung emas, dan memohon izin untuk memulai penambangan di sana. Saat itu, Gus Yunus yang dihormati sebagai tetua agama setelah Kiai Manan meninggalkan kampung juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Aku melanjutkan ceritaku kepada Kiai Manan, "Pak Kades tidak langsung memberikan persetujuannya. Ia mengatakan bahwa semuanya harus dimusyawarahkan terlebih dahulu, Pak Kades menjelaskan bahwa ia bisa saja langsung menandatangani izin tersebut, namun ia sadar keputusan itu pasti akan menuai penolakan dari banyak pihak. Pak Kades sangat memahami betapa Kiai Manan dulu begitu menjaga hutan desa itu dengan sepenuh hati."
"Kenapa kamu bisa tahu detail pertemuan itu?" tanya Kiai Manan
"Saya saat itu jadi Sekretaris Desa, Kiai," jawabku.
Aku menjelaskan bahwa satu bulan setelah pertemuan itu, kesepakatan akhirnya tercapai. Kontrak ditandatangani, dan penambangan pun dimulai, dengan jangka waktu yang disepakati selama 15 tahun.
"Ya, aku paham apa yang terjadi,” ujar Kiai Manan dengan nada serak.
Semua orang di desa paham bahwa Gus Yunus, keponakan Kiai Manan, telah mengambil alih peran Kiai Manan. Namun, wataknya sedikit berbeda. Gus Yunus tampak lebih mudah diajak berkompromi dibandingkan dengan Kiai Manan yang dikenal tegas dan tak tergoyahkan dalam prinsip-prinsipnya.
"Lalu kamu sekarang Kepala Desa?" tanya Kiai Manan.
"Tidak, Kiai. Sekarang Kepala Desa itu Samsul, anak Pak Kepala Desa sebelumnya,” jawabku.
Aku memberitahu Kiai Manan bahwa, sama seperti beliau, aku juga baru kembali ke kampung ini setelah sekian lama. Aku adalah salah satu yang menentang penambangan tersebut, dan akibatnya, aku dicopot dari jabatan sekretaris desa. Setelah itu, aku memutuskan untuk pergi ke luar kota dan bekerja sebagai jurnalis. Dari kota, aku masih terus mengkritik praktik penambangan yang berlangsung di kampungku.
Beberapa kali Gus Yunus datang menemuiku di kota, mengajakku untuk kembali ke kampung halaman dan berkontribusi dalam membangun desa. Ia menjelaskan alasan di balik keputusannya menerima penambangan itu. Menurutnya, penambangan adalah salah satu cara agar warga kampung bisa mencapai kesejahteraan dan memperoleh penghasilan yang layak. Dengan dana dari penambangan, masjid-masjid, langgar, dan madrasah bisa dibangun. Anak-anak desa pun bisa melanjutkan kuliah dan pulang ke kampung untuk membangun tempat asal mereka.
Namun, aku membantahnya, mengatakan bahwa kerusakan yang diakibatkan jauh lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh. Memang terbukti, air menjadi keruh, masjid-masjid, langgar-langgar, dan madrasah kosong melompong. Anak-anak desa yang sudah meraih gelar sarjana pun enggan kembali ke kampung halaman mereka.
Sambil berdiri dari tempat duduknya, Kiai Manan mengajak kami untuk memperbaiki keadaan. "Tidak ada kata terlambat," katanya dengan penuh semangat. Namun, aku sempat lupa untuk menanyakan mengapa beliau meninggalkan kampung.
Setelah itu, aku bertanya, dan beliau hanya tersenyum sambil mengatakan, "Kalian akan segera tahu jawabannya."
Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal Jawa Tengah. Malik menulis sejumlah cerpen, puisi, resensi, dan esai yang tersebar di beberapa media online.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
6
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
Terkini
Lihat Semua