Demak, NU Online
Pusaka hati wahai tanah airku//Cintamu dalam imanku//Jangan halangkan nasibmu//Bangkitlah hai bangsaku//Indonesia negeriku//Engkau panji martabatku//Siapa datang mengancammu//’kan binasa di bawah dulimu//.
Syair Subbanul Wathan karya KH Abdul Wahab Chasbullah itu menggema di halaman Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak pada Ahad malam (22/10). Syair itu dinyanyikan oleh sekitar lima ratus santri Futuhiyyah dengan suara lantang dan tangan kanan mengepal di tengah pelaksanaan upacara dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2017.
Seperti diketahui, melalui Keputusan Presiden (kepres) nomor 22 tahun 2015, Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan itu mengacu pada Resolusi Jihad yang diinisiasi oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan dimaklumkan oleh para ulama Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 Oktober 1945 sebagai hasil musyawarah konsul-konsul ulama NU se-Jawa dan Madura.
“Resolusi Jihad itu menyatakan bahwa memerangi penjajah itu hukumnya fardlu ain bagi setiap Muslim yang berjarak 94 km dari tempat musuh, adapun bagi yang di luar jarak itu, hukumnya fardlu kifayah,” terang Ustad Ahmad Sahal selaku pembina upacara.
Hal itu, lanjutnya, menunjukkan bahwa para ulama dan kiai kita memiliki sikap nasionalisme yang tidak diragukan.
“Karena itu, kita harus meneladani beliau-beliau yang sudah memberikan contoh yang sangat bagus, bukannya malah mengajarkan paham-paham yang merongrong NKRI!”
Pemahaman mengenai jihad harus diaktualisasi. Jika jihad pada zaman penjajah adalah memerangi para penjajah, maka jihad sekarang adalah belajar dengan rajin.
“Sekarang Indonesia sudah merdeka, dengan begitu jihad kita sekarang bukan lagi memerangi penjajah, tetapi memerangi kebodohan. Para santri harus rajin mengaji. Sebab dengan mengaji santri menjadi aji. Kita harus menyerap semaksimal mungkin ilmu-ilmu yang kita pelajari di pondok pesantren dan sekolah kemudian kita amalkan di masyarakat. Itulah makna jihad sekarang ini,” jelasnya.
Mujahadah
Sebelum upacara digelar, bakda magrib para santri berkumpul di Masjid An-Nur mengadakan mujahadah dengan membaca shalawat nariyah sebanyak seratus kali. Mujahadah dipimpin oleh wakil kepala lurah Pondok Pesantren Futuhiyyah, Ustad Imam Fitri Khosyi’i, AH.
Selain mengikuti intruksi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menurut Ustad Imam Fitri Khosyi’i mujahadah juga penting dilakukan dalam rangka menyeimbangkan antara pikir dan dzikir.
“Kita harus senantiasa memadukan antara jihad, ijtihad, dan mujahadah. Setelah kita melaksanakan jihad melawan malas dan ijtihad memahami pelajaran, rasanya tidak lengkap jika tidak dibarengi dengan mujahadah, memasrahkan semuanya kepada Allah,” tuturnya.
Nobar Film Sang Kiai
Selain mujahadah dan upacara, para santri Futuhiyyah juga mengadakan nonton bareng (nobar) film Sang Kiai di halaman pondok. Layar proyektor yang besar dan sound system yang menggelegar membuat para santri larut dalam keasyikan menonton film yang mengisahkan memoar KH. Hasyim Asy’ari tersebut.
Keakraban benar-benar tampak di antara para santri. Mereka duduk berlesehan sembari menikmati makanan ringan yang disajikan panitia. Tawa mereka membahana tiap kali film mempertontonkan adegan yang lucu. Begitu film selesai, para santri bertepuk tangan.
Nailul Kamal, salah satu santri, merasa puas dengan rangkaian acara hari santri yang diselenggarakan Pesantren Futuhiyyah.
“Acara hari santri ini sederhana, tetapi efektif. Manfaatnya buat kami, terasa khidmat seperti acara nobar ini. Selain tidak mengganggu ketertiban umum, nobar ini sangat menghibur dan mendidik kami. Kami selaku para santri menjadi tahu perjuangan para kiai terdahulu seperti KH. Hasyim Asy’ari. Ia berharap acara seperti ini diagendakan setiap tahunnya. Kalau bukan kita, para santri, siapa lagi yang akan merayakannya,” pungkasnya. (Moh Salapudin/Ben Zabidy/Kendi Setiawan)