Daerah

Kekerasan Seksual, Perlu Pendekatan Keadilan Restoratif

Jumat, 27 Mei 2016 | 12:27 WIB

Jakarta, NU Online
Kekerasan seksual yang belakangan ini “menggila” membuat masyarakat resah. Presiden Joko Widodo dalam hal ini telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang salah satunya adanya tambahan hukuman kebiri dan hukuman mati. Publik bertanya-tanya, apakah Perppu tersebut efektif apa tidak untuk mengatasi masalah kejahatan seksual tersebut. 

Ketua DPW Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) DKI Jakarta, Ahmad Ramzy menjelaskan untuk menangani berbagai masalah kejahatan saat ini, termasuk kekerasan seksual, pendekatan yang digunakan harusnya adalah keadilan restoratif yang menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Hal ini disampaikan dalam diskusi Perkembangan Hukuman Mati di Indonesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas NU Indonesia (Unusia) Jakarta, Kamis (26/5).

Menurut Ahmad Ramzy, pendekatan keadilan restoratif ini dapat dijadikan solusi dalam masalah Perppu. Tidak perlu memberlakukan pidana maksimum hukuman mati, kecuali kalau korban meninggal. Sedangkan alasan hukum lain selain meninggal dapat menggunakan pidana maksimum seumur hidup. 

Dalam kerangka ini semua, korban atau keluarga korban harus turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan hukum. Selama ini belum banyak dilakukan di dalam proses persidangan di peradilan Indonesia. 

“Ancaman hukuman mati di sini dalam prakteknya nanti belum tentu memenuhi rasa keadilan korban, misal korbannya luka berat atau gangguan jiwa, seharusnya pelaku menanggung semuanya menjadi pulih normal,” katanya. 

Ia menjelaskan, dalam Islam, dikenal istilah al-islah (perdamaian) dan al-‘afwu (pemaafan/pengampunan), selain itu masalah batasan umur anak di Indonesia masih diperdebatkan. 

Djoko Edhi S. Abdurrahman, mantan anggota DPR RI dalam kesempatan itu menjelaskan bahwa penjatuhan hukuman mati ini harus ditolak karena melanggar UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjadi “hak hidup” warganya. Selain itu, belum ada penelitian atau korelasi yang menyakinkan dengan ditambahkannya ancaman hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual pada anak dapat membuat pelaku menjadi jera. 

Sementara itu Fathudin, Sekretaris C3Huria, menjelaskan sampai saat ini belum ada korelasi yang positif pemberlakuan atau peningkatan ancaman hukuman dengan berkurangnya tindak kejahatan, meski pada saat ini kecenderungan pemberlakuan hukuman mati secara global menurun. Data terakhir menunjukkan peringkat 5 teratas dalam penerapan hukuman mati, yaitu China, Iran, Saudi Arabia, Iraq dan Amerika. Menurut Anggota PP Lakspesdam NU ini, saat ini harus dikedepankan hukum yang lebih moderat, hukum yang tidak hanya berpinsip pada pembalasan semata dalam menghadapi permasalahan bangsa ini. 

Menurut Fathudin, pemicu atau penyebab dari tindakan kekerasan seksual pada anak sangat beragam, seperti kemiskinan, pendidikan termasuk pendidikan seksual yang kurang. “Kita harus melihat permasalahan ini, bukan hanya pada ancaman hukuman matinya saja, tapi harus dilihat secara lebih komprehensif,” jelasnya.

Ketua Prodi Ilmu Hukum UNU Indonesia Muhammad Afifi dalam hal ini mengkritisi frasa “luka berat, menderita gangguan jiwa, terganggu atau hilang fungsi reproduksinya”, apakah dapat dijadikan alasan hukum dapat menjatuhkan hukuman mati bagi pelakunya. Red: Mukafi Niam