Daerah SULUK MALEMAN

Merenungi Sujud yang Tak Lagi Buahkan Sikap Tawadhu’

Senin, 25 Juli 2016 | 11:00 WIB

Merenungi Sujud yang Tak Lagi Buahkan Sikap Tawadhu’

Dramatic Reading “Masjid Tanpa Sujud” oleh Teater Salik dalam Suluk Maleman “Peradaban Tanpa Sujud”

Pati, NU Online
Bagi umat Islam, sujud memiliki makna yang mendalam. Tak sekadar pada hubungan spiritual ketuhanan, namun jauh lebih luas dari hal tersebut. Tema sujud yang diartikan luas itulah yang rupanya menjadi topik yang hangat dalam ngaji budaya Suluk Maleman yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Pati, Jawa Tengah, Sabtu (23/7) hingga Ahad (24/7) dini hari kemarin.

Anis Sholeh Baasyin saat membuka diskusi mengungkapkan bahwa sujud adalah metode untuk menekankan dan mengingatkan betapa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang teramat kecil.

Dengan sering bersujud dengan penuh kesadaran akan mengantar manusia menjadi tawadhu’, akan menjadikannya sebagai sosok yang rendah hati. “Sebagai manusia saja kita belum pernah keluar dari bumi bagaimana kita bisa merasa besar di tengah angkasa yang begitu besar,” ujar budayawan asal Pati ini.

Namun sayang, saat ini konsep sujud itu justru seakan dilupakan dalam berperadaban. Banyak golongan yang merasa lebih besar atau lebih benar dengan terus menyalahkan yang lain. Inilah yang kerap menjadi sumber kekacauan.

“Ada yang mengatakan, seandainya orang bodoh atau tidak berilmu tidak berbicara, tentulah tidak ada kekacauan. Namun yang terjadi justru banyak orang yang tidak punya ilmu justru sering berbicara dengan keras,” lanjutnya.

Ini semua, katanya, karena sejak awal orang tampaknya gagal bersujud atau ia bersujud kepada selain Allah. Sujudnya lebih pada remeh temeh kepentingan duniawi.

“Seharusnya sikap rendah hati atau sujud itu menjadi dasar membangun peradaban. Salah satu terapannya adalah dengan menghormati dan mengelola perbedaan sebagai sumber kekayaan, bukan lantas merasa benar sendiri dan menyalahkan yang lainnya. Dulu para kiai sepuh banyak memberi contoh bagaimana menghormati dan mengelola perbedaan,” jelas Anis.

Prof. Dr. Saratri Wilyonoyudho, salah satu narasumber yang turut hadir dalam diskusi tersebut menambahkan, bentuk dari setiap ibadah sudah seharusnya bisa diterapkan dalam kehidupan di dunia. Menurutnya, shalat justru baru dimulai setelah salam dilakukan. Artinya inti dari ibadah itulah yang seharusnya dilakukan di tengah masyarakat.

“Kita mungkin sering shalat berjamaah di masjid. Seharusnya keluar dari masjid kita juga bisa tetap berjamaah. Bermasyarakat dengan baik satu sama lainnya,” ujar Prof Dr Saratri.

Di sisi lain, Prof. Saratri menegaskan bahwa kita harus bisa membedakan antara nilai agama dan budaya. Budayanya tentu boleh berbeda asalkan tidak bertentangan dengan nilai Islam.

“Contohnya menutup aurat itu adalah nilainya, sedangkan budayanya mau ditutup dengan jubah, celana, sarung atau lainnya tentu tidak apa-apa,” tegasnya.

Di era seperti saat ini, Prof. Saratri juga menekankan agar manusia dapat lebih banyak menggunakan ilmu iqra’ atau membaca. Tentu dalam membaca dalam pengertian yang luas, termasuk lingkungan dan keadaan yang ada.

“Saat ini orang mudah ketakutan dengan yang namanya rezeki, itu pun yang sudah dipersempit maknanya menjadi sekadar uang atau materi. Padahal rezeki itu tidak hanya materi. Rezeki terbesar seharusnya adalah ketenangan batin. Justru ketika bisa mendapatkan ketentraman batin, tentunya juga akan berdampak pada yang materi. Karena ada banyak kemungkinan yang sebelumnya kita tidak pernah mengetahuinya,” tambahnya.

Dr Ilyas yang juga turut hadir menambahkan bahwa banyak konflik terjadi lantaran lantaran kita masih belum dewasa. Karakteristik anak kecil memang memiliki kecenderungan meledakkan apapun yang diinginkannya.

“Orang dewasa tentu tidak akan berlaku seperti itu, karena bisa menahan diri atau berpuasa termasuk untuk tidak mudah menyalahkan pihak lain ketika terjadi perbedaan,” ujarnya.

Sementara Budi Maryono, seorang penulis dari Semarang, mengaku memiliki cara tersendiri untuk tetap hidup dengan tenang dan damai. Keimanan seseorang tentunya juga akan mudah naik turun seperti halnya dengan tegangan listrik. Untuk itulah dibutuhkan stabilizer.

“Kalau untuk menyeimbangkan tegangan listrik kita butuh stabilizer, untuk menyeimbangkan keimanan itu bisa dilakukan dengan dzikir; yaitu dengan selalu mengaitkan segala hal yang dialami dalam hidup pada rencana Tuhan. Jika sudah bisa seperti itu tentu kehidupan akan menjadi lebih tenang,” ujarnya.

Dia juga mengatakan jika memang belum bisa mendapat hakikat sebuah nilai agama seperti sujud secara mendalam tentu tidak perlu khawatir. Yang penting sebagai manusia kita perlu terus melakukan kebaikan walaupun kecil. Hingga pada saatnya nanti akan merasakan begitu enaknya melakukan kebaikan.

Selain topik yang menarik, diskusi yang digelar hingga Ahad (24/7) sekitar pukul 02.30 kemarin juga bertambah atraktif setelah diselingi dengan alunan musik dari Sampak GusUran. Sebelumya, sebagai pengantar, acara diawali dengan dramatic reading “Masjid Tanpa Sujud” karya Anis Sholeh Ba’asyin. Setidaknya 400 penonton yang hadir terlihat begitu menikmati diskusi tersebut. (Red: Mahbib)