Fragmen

Riwayat Koran Duta Masyarakat: Media Terbesar NU Tahun 1960-an

Kamis, 4 Januari 2024 | 18:00 WIB

Riwayat Koran Duta Masyarakat: Media Terbesar NU Tahun 1960-an

Koran Duta Masjarakat edisi 25 Rabiul Akhir 1383 H. (Foto: dok. penulis)

70 tahun yang lalu, tepatnya pada 2 Januari 1954, Nahdlatul Ulama (NU) yang kala itu baru beberapa tahun menjadi partai politik meluncurkan sebuah media yang terbit harian berwujud koran yang diberi nama Duta Masjarakat (Baca: Duta Masyarakat atau disingkat DM).


Terkait pentingnya keberadaan Duta Masyarakat ini dikemukakan tokoh yang pernah menjadi salah satu pimpinan DM, KH Saifuddin Zuhri. Sebagaimana yang termaktub dalam buku Kenang-kenangan Muktamar ke-XXII NU di Jakarta tahun 1959, dia menegaskan bahwa citra diri NU di masa itu, dapat dilihat dari tulisan-tulisan yang ada di Duta Masyarakat.


“Seperti jang telah berulang-ulang diinstruksikan oleh Pengurus Besar, surat kabar Duta Masjarakat adalah masih satu-satunja milik kita, jang membawa dan mentjerminkan suara Partai.. Oleh sebab itu, bisalah dikatakan bahwa DM merupakan lukisan pada Partai kita, jang oleh fihak-fihak di luar pagar selalu didjadikan Kompas dan barometer politik, jang dibatja, dan diperhatikan oleh kaum politisi dalam dan luar negeri, pemimpin-pemimpin partai, pemimpin-pemimpin sipil dan militer, perwakilan asing, dan lain-lain golongan penting dalam masjarakat, jang setjara teliti dan setia mengikutinja setiap hari,” papar Kiai Saifuddin.


Dijelaskan Kiai Saifuddin, karakter khas yang dibawa oleh Duta Masyarakat yakni sesuai dengan kepribadian NU yang menjunjung tinggi adab dan akhlak. “.. Sudah barang tentu, harus memelihara tindak tanduk dan iramanja... jang senantiasa bersumber pada Billatie hija achsan..”


Sedangkan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1956-1983 KH Idham Chalid mengatakan, DM menjadi terompet, tidak hanya bagi NU, tapi juga masyarakat Islam pada umumnya. Hal tersebut ia sampaikan pada momen ulang tahun ke-11 Duta Masyarakat (Harian Duta Masyarakat, edisi 5 Januari 1965).


“Sebagai pembawa suara dari fikiran jang sehat, jang menginginkan perdamaian nasional.. dengan segala keichlasan dan memperdengarkan amanat penderitaan rakjat dengan tjara dan iramanja sendiri,”


Perkembangan Duta Masyarakat

Duta Masyarakat yang dirintis PBNU sejak era kepemimpinan KH Wahid Hasyim, baru bisa dirilis untuk pertama kali pada tahun 1954 (Ketika Kiai Wahid sudah wafat). Hampir dalam waktu yang bersamaan, Partai NU juga menerbitkan dua majalah terbitan bulanan bernama Gema Muslimin (Maret 1953) dan Risalah Politik (Juni 1954).


Dari perbedaan segmen pembaca, bila Risalah Politik diperuntukkan untuk kalangan NU, kemudian Gema Muslimin ditujukan untuk umat Islam pada umumnya, tanpa mencantumkan simbol atau pun identitas partai. Sedangkan DM, mencoba menggabungkan keduanya, antara penegasan identitas media yang dimiliki oleh NU, dengan pangsa konsumen pembaca untuk umat Islam, pada umumnya.


Kedua majalah yang menjadi corong partai tersebut, dicetak oleh ‘Pertjetakan Nahdlatul Ulama’, yang dikelola di bawah Yayasan Mu’awanah Nahdlatul Ulama Pusat (YAMUNU). Sedangkan DM, diterbitkan oleh PT Timbul, sebuah Perusahaan yang didirikan AA Achsien, Zainul Arifin dan H Djamaludin Malik (KH Saifudin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, hal 530).

 

YAMUNU yang didirikan pada tahun 1953, memiliki tujuan untuk meningkatkan pendapatan yang bisa diandalkan bagi NU melalui serangkaian kegiatan perdagangan, terutama bidang percetakan.


Di masa awal, Duta Masyarakat yang memiliki semboyan Menggalang Kerjasama Islam-Nasional dipimpin oleh Asa Bafaqih, sebagai Pemimpin Redaksi. Bekas Kantor PBNU di Menteng Raya 24 dijadikan sebagai kantornya. Sebelum memegang Duta Masyarakat, Asa Bafaqih sudah banyak memiliki pengalaman di dunia jurnalistik. Ia pernah menjadi jurnalis di harian Pemandangan dan Pemimpin Redaksi Antara.


Di bawah kepemimpinan Asa, Duta Masyarakat mampu tampil menjadi salah satu media yang cukup kredibel. DM juga menjadi wahana penting bagi generasi muda NU dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan berita khalayak melalui media massa. Singkatnya, Duta Masyarakat menjadi wadah pengaderan bagi jurnalis-jurnalis muda NU.


Hadirnya Duta Masyarakat juga mampu mewarnai dinamika media massa yang dimiliki oleh beberapa parpol, menjelang berlangsungnya Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Sebut saja, Suluh Indonesia (PNI), Abadi (Masyumi), Harian Rakyat (PKI), dan lain sebagainya. Di masa itu, radio dan koran menjadi media yang paling efektif untuk menyebarkan informasi.


Berbeda, dengan Gema Muslimin dan Risalah Politik yang terbit tidak teratur dan bahkan akhirnya berhenti terbit setelah Pemilu 1955. Sedangkan DM, yang menjadi koran harian, tetap bertahan, meskipun secara finansial mengalami banyak kekurangan.


Masalah finansial ini, menurut Greg Fealy (Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, 2003) tidak lepas dari berbagai masalah, antara lain susahnya distribusi ke daerah-daerah pedesaan, tempat sebagian besar pendukung NU berada. Hal tersebut menyebabkan Duta Masyarakat sering terlambat datang kepada para pembaca, terutama di daerah-daerah.


Di sisi lain, menurut KH Saifuddin Zuhri, para pengurus dan anggota NU sendiri juga masih minim yang berlangganan Duta Masyarakat, bahkan ada yang sama sekali belum pernah membacanya.


“Maka tidaklah heran, apabila DM mengalami kerugian-kerugian jang bersifat moril dan psikologi, djuga kerugian jang bersifat materieel.. Bahwa masih amat banjak pemimpin-pemimpin Partai di daerah-daerah, di Wilayah, di Tjabang, di MWT dan Ranting, para tokoh-tokoh penting di daerah.. dan lain-lain keluarga Partai jang sebenarnja bisa mampu berlangganan dengan setia, tetapi tidak berlangganan DM. Bahkan tidaklah sedikit jang sama sekali tidak pernah membatjanja. Hal ini sungguh amat disajangkan sekali,” (Buku Kenang-kenangan Muktamar.. , 1959)


Pada perkembangan periode berikutnya, Pada tahun 1960, Asa Bafaqih yang diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi Duta Besar RI untuk Sri Lanka selama 4 tahun lalu Duta Besar di Aljazair. KH Saifuddin Zuhri kemudian menggantikan posisi sebagai Pemimpin Umum merangkap Pemimpin Redaksi Duta Masyarakat.


Dia dibantu H Muhammad Hasan, M. Said Budairy dan menyusul kemudian Mahbub Djunaidi. Lalu pada tahun 1962, KH Saifuddin Zuhri diangkat sebagai Menteri Agama. Praktis, pengangkatan tersebut juga berdampak pada susunan Dewan Redaksi Duta Masyarakat.


Ajie Najmuddin, penulis buku Menyambut Satu Abad NU