Fragmen

Upaya Terakhir Gus Dur Melawan Pelengseran Dirinya

Jumat, 17 Januari 2020 | 14:30 WIB

Upaya Terakhir Gus Dur Melawan Pelengseran Dirinya

KH Abdurrahman Wahid. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Baik secara hukum pidana maupun tata negara, Gus Dur tidak jatuh pada kasus Bulog dan Brunei seperti yang dituduhkan parlemen dan oknum-oknum yang berupaya melengserkannya dari kursi Presiden.
 
Penjatuhan Gus Dur adalah persoalan pertarungan politik dimana yang satu kalah yang satu menang. Bukan soal hukum yang satu benar, yang satu salah. Dan Gus Dur kalah dalam pertarungan politik itu, karena dikeroyok ramai-ramai.

Gus Dur saat itu berpikir daripada perang saudara hanya gara-gara mempertahankan jabatan duniawi, lebih baik ia mundur dari jabatan Presiden RI. Mundur bukan karena mengalah, tetapi Gus Dur lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan keutuhan negara. Tidak ingin terjadi perang saudara dan pertumpahan darah.

Sebab, jutaan rakyat Indonesia kala itu akan membela mati-matian agar Gus Dur tetap pada tampuk pimpinan tertinggi negara. Gus Dur sekuat tenaga menahan amarah rakyat yang mendukung penuh dirinya.

Namun, Gus Dur masih belum menemukan alasan yang tepat untuk keluar dari Istana Negara kala itu. Karena yang dituduhkan parlemen jelas tidak bisa diterima, sebab inkonstitusional dan tidak rasional (irrasional).

Yang menarik dalam persitiwa itu adalah cara Gus Dur yang menolak untuk menjadikan pelengseran itu sebagai tragedi personal. Ia tak merengek atau curhat di depan publik terkait dengan serangan politik terhadapnya. Sikap Gus Dur masih nampak sama, dengan logika komunikasi publik yang “gitu saja kok repot”.

Dalam sebuah acara, Gus Dur pernah bercerita tentang perbincangannya dengan Luhut Pandjaitan. Saat itu Gus Dur bercerita pada Luhut tentang hukum Islam yang mengatur bahwa kalau orang diusir dari rumahnya dia harus melawan, kalau perlu dengan menggunakan kekerasan.

Namun karena Gus Dur tak ingin mengambil jalan kekerasan, dia lalu meminta bantuan Luhut untuk menguruskan surat perintah pengosongan Istana Negara dari kantor Kelurahan Gambir karena Istana Negara berdomisili di Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat.

Karena pengosongan Istana adalah kehendak pemerintah setempat yang sah, maka Gus Dur tak perlu melawan sama sekali. Kewajiban mempertahankan “rumah” pun gugur. Urusan selesai, dan Gus Dur keluar dari Istana tanpa gejolak. Gus Dur tak menjadikan pelengseran dirinya sebagai beban personal.

Dalam perbincangan lain dengan KH Maman Imanulhaq (2010), Gus Dur ditanya kenapa harus membuat surat perintah dari Lurah Gambir? "Supaya nanti ketika di hadapan Allah ditanya, kenapa kamu meninggalkan Istana Negara? Tinggal saya jawab: monggo (silakan) ditanya saja ke Lurah Gambir,” ujar Gus Dur.

Itulah Gus Dur, sang Guru Bangsa. Bukannya susah payah mengumpulkan energi politik untuk melawan kekuatan para pengeroyoknya, dia justru menegaskan pada orang di sekitarnya bahwa “tak ada kekuasaan yang begitu berharga hingga harus dipertahankan dengan darah.” Ia pun tetap menyandarkan langkahnya berdasarkan ketentuan dan pertanggungjawaban teologis atau ketuhanan sebagai upaya terakhir melawan pelengseran dirinya.

Bangsa Indonesia patut mencatat bahwa berbeda dengan kejatuhan Bung Karno dan Pak Harto yang diawali dan/atau disusul dengan konflik sosial yang berdarah-darah, pelengseran Gus Dur di tahun 2001 justru berjalan aman karena langkah brilian kemanusiaan (humanisme) yang ada pada diri Gus Dur. Inilah refleksi paling konkret dari visi kemanusiaan yang secara ajeg ditunjukkan oleh Gus Dur.

Bagi putra sulung KH Abdul Wahid Hasyim da cucu Hadlratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari ini, kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi.

Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Dalam hal ini, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat dan sama sekali tak berkehendak mengorbankan kemanusiaan itu demi kepentingan kekuasaan.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon