Jamaah menyimak dengan antusias penyampaian Kiai Moh Al-Fa'iz Sa'di di sebuah mushala di Taiwan (Foto: dok istimewa)
Firdausi
Kontributor
Jakarta, NU Online
Masyayikh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Kiai Moh Al-Fa’iz Sa’di, adalah salah satu dai Program Dakwah Internasional Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang pada Ramadhan 1445 Hijriah ini bertugas di Taiwan. Kepada NU Online, Kiai Al-Fa'iz menceritakan perjalanan dakwahnya tersebut.
Pada Kamis (21/3/2024) pukul 17.45, Kiai Moh Al-Fa’iz Sa’di menuju Fujikang. Rute yang diambil itu tujuannya adalah ke Yehliu. Diperkirakan perjalanan dari Masjid Al-Hidayah, Keelung memakan waktu sekitar 20-30 menit untuk sampai ke sana.
"Saya terjadwal mengimami shalat tarawih dan mengisi kajian di Mushala Nurul Hidayah, Pelabuhan Yehliu," ujarnya, Ahad (7/4/2024).
Karena berangkat terlalu akhir, ketika masuk waktu Maghrib posisinya masih dalam perjalanan. Namun tak lama setelah itu, ia yang dibersamai Pak Kasno, Bu Anggun, dan disusul Bu Sina, tiba di lokasi yang sepi. Tidak terlihat ada yang menyambut seperti di tempat-tempat lain sebelumnya.
Kala itu ia menuju pintu utama sebuah toko bertuliskan ‘Toko Indo Halal’ yang berada di lantai dasar sebuah gedung berlantai lima. Saat dilihat, tidak ada orang di dalam. Melihat hal itu, ia langsung turun ke lantai bawah tanah melalui sebuah tangga di sampingnya. Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sudah memulai shalat Maghrib berjemaah di Mushala Nurul Hidayah.
"Kami langsung saja bermakmum, shalat Magrib dengan wudhu Asar," sambungnya.
Setelah shalat, ia berbuka puasa bersama dan berkenalan dengan Pak Jauhari, Pak Roi’ dan Pak Darno. Dua nama yang disebut terakhir adalah imam mushala. Selain itu, ia diperkenalkan dengan Siti Aisyah sebagai pemilik toko dan mushala. Namun beliau tidak bertemu dengan suaminya yang kabarnya seorang musim asal Pakistan. Kendati demikian, beliau sempat menyapa anak laki-lakinya yang sedang pulang liburan dari pondok pesantren di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dari perbincangan bersama mereka, Mushala Nurul Hidayah berumur sekitar 10 tahun. Bu Siti Aisyah yang dengan suka rela menyediakan tempat untuk dijadikan mushala dan pusat kegiatan keagamaan khususnya oleh para Pekerja Migran Indonesia. Mereka juga ikut serta merawat fasilitas dan kebersihan. Bu Aisyah sendiri berasal dari Ponorogo yang sudah sekitar 24 tahun tinggal di Taiwan, namun baru menempati tempat yang sekarang sejak 10 tahun terakhir.
Jumlah PMI yang nyaris kesemuanya adalah ABK di Pelabuhan Yehliu mencapai 200-an orang. Pada momen Hari Raya seperti Idul Fitri jamaah mushala yang ikut melaksanakan shalat Id bisa lebih dari 100 orang.
"Jamaah Shalat Idul Fitri sekurang-kurangnya 100 orang. Apabila imam mushala yang bertugas selama ini sedang berlayar, maka mushala ini nantinya tidak ada imamnya. Karenanya, kami memohon bantuan agar disampaikan kepada PCINU supaya mengutus sebagian dainya ke sini," kata Pak Jauhari.
Kiai Al-Fa'iz menanggapi bahwa ia akan menyambungkan permohonan tersebut.
Kegiatan ibadah harian di mushala ini cukup aktif. Setidaknya untuk shalat Maghrib dan Isya rutin dihadiri oleh sekitar 20 orang jamaah. Namun demikian, tantangan muncul dari tetangga penghuni lima lantai di atasnya.
"Apabila ada keramaian dan kerumunan PMI yang beraktivitas di mushala, kadang didatangi oleh pihak kepolisian. Kemungkinan ada tetangga yang melaporkan. Karenanya, di mushala ini tidak digunakan pengeras suara. PMI juga belum bisa leluasa menampilkan kostum dan atribut yang mencirikan keagamaan dan budaya luar, seperti sarung dan sebagainya," cerita Jauhari.
"Ya, berproses. Yang terpenting saat ini adalah keadaan yang kondusif dan bisa beribadah dengan nyaman dulu," tanggap Kiai Al-Fa’iz.
Di saat yang sama, seorang lelaki datang menghampiri dan memperkenalkan dirinya. Ternyata ia adalah Ustadz Madun, Rais Syuryiah PCINU Ranting Keelung yang bekerja di Pelabuhan Yehliu. Sejak tiba di Keelung, Kiai Al-Fa’iz sudah sering mendengar namanya yang diceritakan oleh pengurus, namun karena jadwal mereka selalu tidak tepat akhirnya baru kali ini bisa bertemu.
Ada cerita menarik di balik pertemuan dengan Ustadz Madun. Ustadz Madun mengaku telah mengikuti kajian-kajian Kiai Al-Fa’iz, jauh sebelum ada kabar akan ditugaskan ke Taiwan oleh LD PBNU.
"Saya sudah lama ikut mengaji ke Njenengan (Anda) melalui TikTok, Gus. Saya merasa bermimpi tatkala mendengar bahwa jenengan datang kemari. Kajian malam pertama jenengan di Masjid Keelung tidak bisa saya hadiri karena terkendala pekerjaan. Namun saya menonton tayangannya. Dalam hati saya berujar: Ya, benar, orang inilah yang sering saya ikuti pengajiannya di TikTok," cerita Ustadz Madun.
"Alhamdulillah, semoga pertemuan ini menjadi silaturahim yang manfaat dan barakah, ya ustadz," kata Kiai Al-Fa'iz menanggapi.
Kiai Al-Fa'iz mengaku tidak pernah menyangka bahwa cuplikan-cuplikan ceramah sederhana yang diunggah di TikTok ataupun di media sosial lainnya akan ditonton oleh orang-orang yang tinggal di tempat yang jauh seperti Taiwan. Cerita malam ini membuktikan bagaimana hal itu bisa terjadi. Kiai Al-Fa'iz bersyukur, karena bagaimana pun itu adalah bagian dari nasyrul ‘ilm.
Baginya, jika ada orang yang dengan bangganya memamerkan aurat dan kemaksiatan, mengapa kita harus malu-malu menyebarkan kebaikan dan kemanfaatan? Kiai Al-Fa'iz teringat, pada 16 Oktober 2018 pernah menulis status Facebook: "Sampaikan kebaikan kapan, di mana dan kepada siapa saja, karena kita tidak tahu di telinga siapa ia akan berguna. Sungguh sehelai daun telinga yang merasakan manfaatnya adalah lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Setelah mengimami shalat tarawih, Kiai Al-Fa’iz dipersilakan menyampaikan pengajian. Sebelumnya ia meminta agar terlebih dahulu ada yang menyampaikan sambutan dari pihak pengurus mushala. Berdirilah Pak Jauhari yang mengenakan jas abu-abu menyampaikan sambutan singkatnya mewakili jamaah.
Pengajian berjalan lancar. Uraian banyak mengenai QS Al-An’am ayat 162 yang kaligrafinya menempel di dinding mushala. Para jamaah pun aktif menyimak dan antusias melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Di antara yang mereka tanyakan adalah mengenai cara berbakti kepada orang tua yang telah meninggal dunia, status puasa Ramadhan yang bertahun-tahun ditinggalkan, pengaruh kebiasaan mengambil nomor (berjudi) terhadap keluarga dan anak keturunan, dan lain sebagainya.
"Sebagaimana di tempat-tempat yang lain, saya berusaha memberi jawaban yang selain mengarahkan kepada perbaikan, juga menumbuhkan pengharapan," kata Kiai Al-Fa'iz.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua