Internasional

Interaksi Muslim Indonesia di Tengah Masyarakat Sekularis Turkey

Rabu, 13 November 2024 | 15:00 WIB

Interaksi Muslim Indonesia di Tengah Masyarakat Sekularis Turkey

Interaksi Muslim Indonesia dengan warga lokal Turkey. (Foto: dok. istimewa/Iqro)

Muslim Indonesia ada di banyak negara, salah satunya terdapat di Turkey. Indonesia dengan masyarakat yang menjunjung nilai moderasi seringkali memperhatikan beragam aspek yang ada di tiap negara untuk mencari seberapa besar moderasi di suatu negara.


Seperti Sekretaris Jenderal PCINU Turki Muhammad Zaki yang bercerita bahwa negara yang kini ia tinggali itu hingga saat ini menunjukkan komitmennya terhadap moderasi beragama dan toleransi melalui berbagai kebijakan dan inisiatif. 


"Kehadiran Presiden Turkey pada upacara pembukaan Gereja Ortodoks Suriah Kuno Mor Efrem di Istanbul, yang merupakan gereja pertama yang dibangun dalam sejarah Republik Turkey, adalah bukti nyata dari upaya ini," kata Zaki dihubungi NU Online pada Senin (11/11/2024).


Selain itu, Zaki menjelaskan bahwa kebijakan dari Direktur Komunikasi Kepresidenan Fahrettin Altun menekankan bahwa pemerintahan Partai AK yang berkuasa dalam 20 tahun terakhir telah menerapkan banyak amandemen hukum yang memungkinkan yayasan masyarakat untuk memperoleh properti tidak bergerak. 


"Mereka juga memastikan kembalinya properti yayasan yang sebelumnya disita kepada pemiliknya yang sah. Dengan demikian, kelompok agama minoritas, termasuk komunitas Assyria, Ortodoks Yunani, Katolik Armenia, dan Yahudi, dapat membangun kembali dan memulihkan tempat ibadah mereka," jelasnya.


Meski demikian, pengalaman interaksi tentu tergambar oleh Iqro Muffidul Huda, ia kini belajar menempuh studi di Universitas Istanbul Turkey. Iqro mengungkapkan bahwa meski masyarakat Turki sebagian besar sekuler, ada juga segmen masyarakat yang sangat mendalami ajaran Islam.


"Dari kalangan sekuler, Islam sering dipandang sebagai ancaman terhadap ideologi sekuler mereka," jelas Iqro dihubungi NU Online pada Selasa (5/11/2024).


Menurut pengalamannya, sering kali sentimen negatif dilontarkan kepada para pendatang Muslim, terutama yang berasal dari negara-negara Timur Tengah. Kehadiran banyak pengungsi dari kawasan tersebut semakin memperburuk ketegangan ini. Namun, di sisi lain, masyarakat non-sekuler di Turkey justru menyambut baik kedatangan saudara-saudara Muslim dari negara jauh, bahkan dengan sikap ramah.


"Mereka cenderung untuk men-treat kita dengan sangat baik, misalnya mentraktir kita, mengundang kita ke rumah mereka, dan hal2 baik lainnya. Sikap-sikap seperti ini biasanya mereka lakukan terhadap pelajar-pelajar internasional yang sedang menimba ilmu di Turkey," katanya.


 

Interaksi Muslim Indonesia dengan warga lokal Turkey. (Foto: dok. istimewa/Iqro)
 

Iqro mengaku bahwa saat pertama kali tiba di Turkey, ia sempat merasa khawatir, terutama soal makanan halal dan potensi rasisme yang dapat menimpanya sebagai pendatang. Namun, seiring waktu, semua kekhawatiran itu bisa diatasi. Akan tetapi untuk masalah rasisme, ia mengatakan masih sering terjadi sehingga Iqro lebih memilih untuk mengabaikannya.


Sebagai seorang Muslim, Iqro merasa bersyukur karena Turkey, sebagai bekas kekhalifahan Islam, memiliki banyak masjid bersejarah peninggalan Utsmaniyah yang masih terjaga. "Di fasilitas umum, seperti bandara dan stasiun, kami juga mudah menemukan mushola untuk beribadah," katanya.


Organisasi Islami dan Kehidupan Kampus

Iqro juga menyoroti pentingnya keberadaan berbagai organisasi dan lembaga Islam di Turkey. Salah satunya adalah Ensar Vakfı, yang menyediakan makan siang gratis untuk semua kalangan. Selain itu, Iqro juga terlibat dalam kegiatan keagamaan, seperti perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh PCNU Turkey. 


"Kegiatan semacam ini sangat membantu kami sebagai mahasiswa internasional untuk mempererat silaturahmi dan membangun jaringan," kata Iqro.


Di kampus, Iqro merasa beruntung karena sejauh ini ia tidak pernah mengalami masalah serius terkait rasisme. "Di kampus, interaksi kami sangat baik. Mereka tidak membedakan kami sebagai mahasiswa asing. Meski begitu, ada perbedaan pandangan terkait agama dan budaya. Misalnya, beberapa teman Turki saya berpendapat bahwa adzan dengan speaker luar tidak perlu karena suaranya mengganggu. Tapi kami tetap menghormati pandangan tersebut," ujarnya. 


Selain itu, Iqro juga menyebutkan kebiasaan baru yang dia pelajari, seperti ucapan "kolay gelsin" (semoga kemudahan datang padamu) yang sering diucapkan kepada orang yang sedang bekerja, hal itu sesuatu yang jarang ditemui di Indonesia.

Salah satu kendala terbesar bagi mahasiswa Indonesia di Turki adalah perbedaan waktu sholat dengan jadwal kuliah, terutama pada saat Sholat Jumat. "Namun, dosen biasanya cukup pengertian, dan seringkali memberikan izin untuk keluar lebih awal atau menyelesaikan kelas lebih cepat," ungkap Iqro. 


Dari segi akademik, ia mengakui bahwa bahasa Turkey menjadi hambatan utama. "Bahasa Turki itu cukup sulit dikuasai, tapi saya terus berusaha untuk memperbaiki kemampuan bahasa saya," tambahnya.


Secara keseluruhan, pengalaman Iqro di Turki memberikan gambaran yang menarik tentang kehidupan di tengah negara yang memadukan sekularisme dengan masyarakat Muslim yang sangat religius. 


"Kita sebagai mahasiswa juga termotivasi untuk terus menjaga niat awal kuliah di Turkey dan tetap berfokus pada tujuan untuk terus belajar dan bisa berkontribusi bagi organisasi maupun negara," katanya.


Ia berharap organisasi-organisasi ini dapat terus berkembang dan memberikan ruang bagi mahasiswa untuk menyalurkan bakat dan waktu mereka dalam kegiatan-kegiatan positif.


"Saya sangat berharap organisasi mahasiswa Islam di Turkey semakin bertumbuh, dan semakin banyak kegiatan yang bisa menampung potensi serta memberikan manfaat bagi mahasiswa," ujar Iqro.


Ia menambahkan bahwa keberadaan organisasi yang dapat menjembatani mahasiswa dengan latar belakang yang berbeda sangat penting untuk memperkuat hubungan antar mereka. 


Iqro mengatakan bahwa kunci utama untuk menciptakan hubungan yang harmonis adalah saling mengerti dan memahami. Ia juga mengusulkan pembentukan wadah seperti International Students Club yang dapat memfasilitasi mahasiswa internasional untuk bekerja sama dan saling mendukung.


"Di sana, kita bisa berkolaborasi, berjuang untuk tujuan dan visi yang sama. Saya yakin, dengan semakin sering bekerja bersama, kita akan semakin membangun hubungan yang baik dan saling mengerti," terangnya.


*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI