Internasional

Laporan 7amleh Ungkap Dampak Disinformasi terhadap Kesadaran Pemuda Palestina di Tengah Genosida Israel

NU Online  ·  Rabu, 15 Oktober 2025 | 21:00 WIB

Laporan 7amleh Ungkap Dampak Disinformasi terhadap Kesadaran Pemuda Palestina di Tengah Genosida Israel

Iring-iringan jenazah rakyat Palestina korban genosida Israel di Gaza Barat pada September 2025. (Foto: WAFA)

Jakarta, NU Online

Pusat Arab untuk Pengembangan Media Sosial (7amleh) merilis laporan berjudul “Perang Tanpa Peluru” yang menyoroti bagaimana disinformasi menjadi alat utama Israel dalam perang terhadap Gaza. Laporan itu menyebut disinformasi tidak sekadar bias media, melainkan strategi terencana untuk membenarkan genosida dan merekayasa kesadaran publik, terutama di kalangan pemuda Palestina.


7amleh menjelaskan bahwa pemerintah Israel menggunakan kecerdasan buatan, akun palsu, sensor media, serta manipulasi algoritma untuk menciptakan realitas palsu yang melegitimasi kekerasan dan menutupi kejahatan perang. Disinformasi juga digunakan untuk memecah masyarakat Palestina dan Arab, serta mengaburkan citra global Israel dengan menampilkan diri sebagai “aktor kemanusiaan”.


Direktur Jenderal 7amleh, Nadim Nashif, menegaskan bahwa perang terhadap kebenaran menjadi syarat bagi berlanjutnya perang di lapangan.


“Melindungi pemuda Palestina berarti melindungi hak mereka atas pengetahuan dan kemampuan untuk menceritakan realitas sendiri tanpa represi digital,” ujarnya dilansir WAFA.


Laporan itu menyerukan peningkatan literasi digital dan akuntabilitas perusahaan teknologi dalam menghadapi penyebaran disinformasi selama konflik.


Israel Gunakan Algoritma dan Propaganda Digital

Laporan 7amleh tersebut menegaskan bahwa arus informasi kini telah menjadi medan pertempuran paralel dengan operasi militer. Pemerintah Israel, menurut laporan itu, menggunakan berbagai alat digital—termasuk kecerdasan buatan (AI), propaganda berbayar, serangan siber, akun palsu, manipulasi algoritma, dan sensor terhadap pers—untuk menciptakan realitas yang terdistorsi yang mengaburkan kebenaran dan melegitimasi agresi.


Disinformasi, ditegaskan dalam laporan itu, bukan lagi sekadar gejala bias media, tetapi telah menjadi strategi yang disengaja untuk menguasai kesadaran dan mengendalikan narasi demi kepentingan politik dan militer Israel.


Sejak 7 Oktober 2023, Israel secara sistematis menggunakan disinformasi untuk mencapai sejumlah tujuan: mendehumanisasi rakyat Palestina dengan menggambarkan mereka sebagai ancaman permanen untuk membenarkan kekerasan; menciptakan pembenaran “moral” palsu yang menggambarkan serangan sebagai “perang yang adil dan perlu”; menggalang dukungan domestik di dalam negeri; serta mengalihkan kritik publik terhadap kepemimpinan politik dan militernya.


Disinformasi juga digunakan sebagai senjata untuk memperdalam perpecahan di masyarakat Palestina dan Arab, mengontrol narasi media internasional, serta mempercantik citra global Israel melalui konten buatan AI yang menampilkan Israel sebagai “aktor kemanusiaan” sambil menutupi kejahatan perangnya.


Merusak Kesadaran dan Psikologis Pemuda Palestina

Laporan 7amleh mengungkap dampak serius disinformasi terhadap pemuda Palestina—kelompok yang paling sering terpapar konten digital selama perang. Informasi palsu mengenai “zona aman” dan “koridor kemanusiaan” menyebabkan keputusan berisiko yang membahayakan warga sipil. Informasi yang dimanipulasi juga menyesatkan para pembuat kebijakan internasional hingga melahirkan kebijakan yang bias dan merugikan.


Selain itu, studi ini menemukan bahwa disinformasi telah merusak kesejahteraan psikologis dan kognitif pemuda Palestina, menimbulkan rasa takut dan kebingungan, mengikis kepercayaan terhadap media, lembaga, serta perusahaan teknologi, dan membatasi kemampuan mereka untuk mengakses informasi akurat dan membuat keputusan yang tepat.


Algoritma dan Narasi Palsu Menjadi Senjata Baru

Makalah itu menekankan bahwa disinformasi telah merusak keadilan bagi warga Palestina dengan merampas kredibilitas suara mereka di ruang media global, sekaligus memperkuat narasi Israel di forum internasional. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa perang di Gaza kini menjadi perang ganda—satu berlangsung di medan fisik, dan satu lagi di ranah kebenaran dan kesadaran—di mana citra dan algoritma dijadikan senjata untuk melemahkan Palestina dan mendominasi kisah mereka.


Laporan tersebut menyerukan pendekatan komprehensif untuk melawan disinformasi, dimulai dengan peningkatan literasi media dan pendidikan digital kritis di kalangan pemuda Palestina, serta reformasi kerangka hukum lokal dan internasional guna menuntut pertanggungjawaban bagi pihak yang memproduksi atau menyebarkan informasi palsu selama konflik.


7amleh juga mendesak tekanan terhadap perusahaan teknologi untuk mengatasi bias algoritmik dan melindungi hak digital warga Palestina, mengembangkan alat untuk memantau kampanye disinformasi terkoordinasi, memastikan transparansi dalam mekanisme verifikasi dan moderasi konten, serta memperkuat kerja sama antara perusahaan, organisasi hak asasi manusia, dan jaringan pemeriksa fakta—dengan tetap melindungi pengguna Palestina dari penghapusan akun secara sewenang-wenang.


Dalam konteks media, 7amleh mendesak jurnalis dan lembaga berita untuk menjunjung tinggi verifikasi dan akurasi, mengadakan pelatihan berkelanjutan guna mendeteksi disinformasi selama konflik, memprioritaskan verifikasi terhadap klaim yang berkaitan dengan operasi militer, dan memastikan sumber Palestina mendapat ruang utama dalam pemberitaan.


7amleh menyimpulkan bahwa perang di Gaza telah memperlihatkan disinformasi sebagai salah satu instrumen paling berbahaya dalam mengendalikan persepsi dan menulis ulang kebenaran. Melindungi warga Palestina hari ini, karenanya, berarti melindungi suara, narasi, dan hak mereka atas pengetahuan—sebab siapa yang menguasai informasi akan menguasai kesadaran, dan siapa yang memutarbalikkan narasi akan membuka jalan untuk membenarkan kejahatan perang.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang