Internasional

Negara-negara yang Menolak Pemulangan Eks ISIS

Selasa, 11 Februari 2020 | 11:45 WIB

Negara-negara yang Menolak Pemulangan Eks ISIS

Ribuan eks-ISIS ditahan di kamp pengungsian al-Hol, utara Suriah. (Foto: New York Times)

Jakarta, NU Online
Akhir-akhir ini wacana pemulangan eks ISIS asal Indonesia ke Tanah Air mengemuka. Presiden Jokowi Widodo menegaskan, dirinya menolak pemulangan eks-ISIS asal Indonesia. Meski demikian, Jokowi mengatakan bahwa keputusan final terkait pemulangan eks-ISIS asal Indonesia akan dibahas dalam rapat terbatas dengan kementerian dan lembaga terkait nantinya.

Lantas bagaimana dengan negara-negara lainnya? Negara mana saja yang menolak untuk memulangkan warga negaranya yang telah bergabung dengan kelompok teroris tersebut?

Inggris
Menteri Dalam Negeri Inggris, Sajid Javid, menegaskan, dirinya tidak akan ragu mencegah warganya yang telah mendukung organisasi teroris untuk kembali ke Inggris. Bagi Javid, mereka yang meninggalkan Inggris dan bergabung dengan ISIS adalah orang yang dipenuhi kebencian terhadap negerinya sendiri. Tidak hanya menolak, Inggris juga mencabut status kewarganegaraan warganya yang bergabung dengan ISIS. 

Tidak hanya laki-laki dewasa, pemerintah Inggris juga melarang bayi dan anak-anak penduduk mereka yang menjadi anggota ISIS untuk kembali pulang. Dilaporkan, saat ini ada sekitar 30 anak-anak warga Inggris yang ditahan bersama dengan orang tua mereka di kamp-kamp utara Suriah.

Dilansir laman The Times, Senin (12/8/2019), pemerintah Inggris menyebut bahwa anak-anak pejuang ISIS yang terjebak di medan perang akan dibiarkan begitu saja. Menurut Javid, terlalu berbahaya untuk mengirimkan personel militer atau sipil untuk menyelamatkan bayi dan anak di bawah umur yang memiliki kewarganegaraan Inggris dari kamp-kamp di Suriah Utara. Alasan Javid menolak anak-anak eks-ISIS adalah kalau seandainya mereka dibawa pulang maka orang tua mereka akan memiliki alasan kuat untuk kembali ke Inggris.

Australia
Pemerintah Australia juga tegas menolak pemulangaan warganya yang bergabung dengan ISIS. Sama seperti Inggris, Australia juga mencabut status kewarganegaraan warganya yang menjadi anggota ISIS.

Meski demikian, tidak seperti Inggris, pemerintah Australia cukup lunak dengan perempuan dan anak-anak eks-ISIS. Pada Juni tahun lalu, pemerintah Australia memulangkan delapan anak dari satu pasangan pejuang ISIS dari Suriah pada Juni lalu. Anak-anak tersebut kini berada di bawah perawatan otoritas Australia.

Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton, mengaku turut prihatin terhadap anak-anak yang lahir dari para pejuang asing ISIS. Meski demikian, dia menegaskan, Australia harus ‘menyadari ancaman’ yang dapat dilakukan sejumlah wanita dan anak-anak eks ISIS jika mereka kembali ke Australia.

"Beberapa wanita telah dibawa pergi secara paksa oleh suami mereka ke Timur Tengah dalam keadaan yang mengerikan dan ada pula perempuan-perempuan yang memang bersedia pergi dan bergabung dengan ISIS secara suka rela dan itu merupakan ancaman yang sama bagi Australia," kata Dutton pada Rabu (24/7), diberitakan CNN.

Amerika Serikat
Pemerintah Amerika Serikat (AS) juga menolak warganya eks-ISIS untuk kembali ke negeri Paman Sam tersebut. Pada Februari 2019 lalu, seperti diberitakan New York Times, Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa perempuan dari Alabama yang bergabung dengan ISIS tidak akan diizinkan untuk kembali pulang.

Pernyataan itu dikeluarkan Trump untuk menanggapi Hoda Muthana (20), seorang perempuan Alabama yang bergabung dengan ISIS. Muthana adalah seorang mahasiswa di Alabama ketika bergabung dengan ISIS pada 2014 silam. Setelah beberapa tahun bergabung dengan ISIS, dia mengaku menyesal dan menyatakan keinginannya untuk kembali ke AS.   

Prancis
Pemerintah Perancis mengambil kebijakan untuk menolak kembali warganya yang telah bergabung dengan ISIS. Pemerintah Perancis juga mencabut status kewarganegaraan mereka dan menganggapnya sebagai musuh negara.

“Warga negara Perancis yang berjuang untuk ISIS (berarti) berperang melawan Prancis. Karena itu, mereka adalah musuh,” kata Menteri Luar Negeri Perancis, Jean-Yves Le Drian, dikutip NU Online dari laman ecfr.eu, Selasa (11/2). 

Menurut studi yang dilakukan Egmont Institute, eks-ISIS yang berasal dari Perancis mencapai 130 orang dewasa dan 270-320 anak-anak. Namun, Perancis dilaporkan telah memulangkan 17 anak dalam beberapa bulan terakhir, termasuk dua yang ibunya mengizinkan mereka untuk kembali ke tanah airnya tersebut.

Memang, hampir semua negara Eropa-di antaranya Jerman, Denmark, Belgia, dan lainnya menolak memulangkan eks-ISIS dewasa dan mencabut status kewarganegaraan mereka. Namun mereka mau menerima kembali anak-anak eks-ISIS. Misalnya, Belgia merepatriasi lima anak dan seorang wanita muda pada Juni 2019, Swedia menerima tujuh yatim piatu pada Mei, dan Jerman menerima penyerahan empat anak—termasuk satu anak yang sakit. 

Mungkin Italia menjadi satu-satunya negara anggota Uni Eropa yang diketahui memulangkan warganya eks-ISIS dewasa. Italia merepatriasi Samir Bougana (25), seorang warga negara Italia yang berasal dari Maroko, pada Juni 2019. Dia dikembalikan setelah setahun sebelumnya ditangkap oleh pasukan Kurdi Suriah ketika mencoba melarikan diri ke Turki. 

Dilaporkan, ada 10 hingga 11 ribu eks-ISIS, baik militan maupun pendukung, yang ditahan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di beberapa tahanan di Irak dan Suriah, di mana dua ribunya merupakan ‘militan asing’ alias berasal dari luar Irak dan Suriah. Menukil data UNHCR, 27 persen dari total eks-ISIS tersebut adalah perempuan dan 67 persennya adalah anak-anak di bawah usia 12 tahun. Perempuan dan anak-anak ditempatkan di tiga pengungsian besar, yaitu al-Hol, al-Roj, dan Ain Issa. 
 

Pewarta: Muchlishon
Editor: Alhafiz Kurniawan