Internasional

Ramadhan di Belgia, Mudah Temukan Makanan Halal, Momen Kebersamaan dengan Keluarga

Jumat, 7 Maret 2025 | 16:00 WIB

Ramadhan di Belgia, Mudah Temukan Makanan Halal, Momen Kebersamaan dengan Keluarga

Suasana kebersamaan buka puasa Ramadhan di Belgia. (Foto: dok. PCINU Belgia)

Belgia, NU Online

Sebagai salah satu negara maju di Eropa Barat, Belgia dikenal sebagai negara yang ramah terhadap agama Islam. Hal ini terbukti pada suasana bulan Ramadhan yang dilaksanakan oleh umat Islam yang dilaksanakan diawal musim semi.

 

Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdhatul Ulama (PCINU) Belgia, Baktiar Hasan menyatakan bahwa suasana Ramadhan tahun ini berlangsung normal dan khusyu diiringi dengan toleransi masyarakat setempat.


“Sebagian besar masyarakat Belgia toleran terhadap umat muslim yang berpuasa. Banyak dari mereka sudah mengenal puasa karena komunitas Muslim dari Maroko dan Turki cukup besar di Belgia,” ujarnya.


Kegiatan Ramadhan yang dilaksanakan masih kental dengan tradisi keagamaan, di antaranya tadarus Al-Qur’an, kajian mingguan dan shalat tarawih setiap malam. Terdapat beberapa masjid yang dibangun oleh komunitas muslim, salah satunya Masjid di Indonesia yang Bernama Nusantara Cultural Centre (NCC) yang berlokasi di St Pieters Leeeuw, Brussels, Belgia.


“Ada beberapa masjid yang berdiri di Belgia. Salah satunya masjid yang berafiliasi NU yaitu Nusantara Cultural Centre. Selama Ramadhan, kegiatan terus kita gelar seperti buka puasa bersama setiap Sabtu, diikuti dengan shalat maghrib, isya, tarawih, dan ceramah agama,” tutur Ketua Yayasan Nusantara Cultural Centre itu.


Menemukan menu buka puasa dan sahur di Belgia bukanlah hal yang sulit. Seperti adanya supermarket yang mencantumkan daftar bahan sehingga bisa dicek langsung kehalalannya.


“Di sini daging halal mudah didapatkan di toko-toko komunitas muslim, selain itu sudah ada komposisi bahan yang bisa dicek dengan mudah. Kami tetap memasak dan makan menu Indonesia, bahkan di dalam maupun di luar Ramadhan,” ungkapnya yang juga Senior Biostatistician di European Organisation for Research & Treatment of Cancer (EORTC).


Mahasiswi Doktoral UCLouvain, Belgia, Ima Sri Rahmani mengungkap bahwa tantangan terbesar berpuasa di negeri minoritas adalah ajang memperkenalkan beragam ritual agama kepada anak-anak untuk menjalankan kewajiban syariat.


“Bulan Ramadhan menjadi waktu yang tepat bagi kami untuk memberikan suasana puasa di dalam rumah. Ini berbeda dengan bulan lainnya, karena lingkungan kami tidak berubah sama sekali. Sebagai orang tua, kami harus memberikan pemahaman dan suasana rumah yang membuat mereka sadar bahwa ini adalah ibadah wajib dan bulan yang penting bagi umat Islam, ” ujarnya yang juga alumnus S2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.


Ia juga menyatakan bahwa bermuslim di negara minoritas menjadi belajar untuk mengaktualisasikan kehidupan sosial lebih luas sehingga menjadi Penawar beragam propaganda yang disirkulasikan untuk menjatuhkan Islam.


“Keunikan justru ada dari kami yaitu perasaan yang sulit dilepaskan khususnya generasi pertama dan kedua yaitu perasaan sebagai warga mayoritas. Menurut saya ini membuat muslim Eropa tampak kurang peduli dan simpati dengan lingkungan sekitar. Terlebih iklim islamophobia,” tungkasnya.


Sebagai negara minoritas, kegiatan keseharian masyarakat berjalan dengan normal, termasuk di bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.


“2 Minggu awal puasa Alhamdulillah bersamaan dengan libur sekolah, tapi 2 minggu selanjutnya sudah normal kembali dan saya memberikan kelonggaran kepada anak-anak, terutama yang SD. Sekolah dan tempat kerja tidak ada libur saat Idul Fitri. Jadi imam berpacu dengan waktu jamaah yang harus bekerja atau sekolah setelah shalat ied,” tambahnya.


Pengalaman yang menarik lainnya dengan berbaurnya umat Islam dari berbagai negara berkumpul dan bersilaturahmi menampilkan pakaian khas masing-masing negara di saat Idul Fitri.