Internasional

Rusia dan Prancis Bersumpah Jaga Kedaulatan Suriah

Jumat, 1 Maret 2013 | 15:20 WIB

Jakarta, NU Online
Rusia dan Prancis mengatakan mereka punya tujuan sama untuk mencari solusi krisis Suriah. Selama pertemuan di Moskow pada hari Kamis (28/2), Vladimir Putin dan Francois Hollande menyatakan ingin mempertahankan kedaulatan Suriah.

<>

Namun, kedua negara masih berbeda pandangan mengenai cara penyelesaian situasi di Suriah tersebut. Rusia telah lama bersikeras bahwa Suriah harus memutuskan nasib mereka sendiri, sementara Perancis menghendaki Suriah tanpa Bashar al-Assad.

Kedua presiden mengatakan bahwa proposal yang diajukan pada pertemuan di Kremlin harus dibicarakan dengan mitra lainnya.

Ini adalah pertama kalinya Francois Hollande berkunjung ke Rusia sebagai Presiden Prancis. Hubungan antara Moskow dan Paris punya akar sejarah yang mendalam. Kedua negara telah bermitra dalam eksplorasi gas, penerbangan dan sektor energi nuklir.

Dalam pertemuan tersebut kedua presiden menandatangani sejumlah perjanjian bilateral. Mereka kemudian bertemu dengan para pemimpin bisnis Perancis dan Rusia untuk membahas kerjasama ekonomi dan investasi.
Geopolitik Rusia di Timur Tengah

Timur Tengah menjadi arena pertarungan geopolitik penting antar kekuatan adikuasa dunia. Selain bercokolnya Amerika dan Perancis, Presiden Rusia Vladimir Putin ingin dunia mengakui bahwa Rusia tetap menjadi kekuatan global. Hal ini ditunjukkan dengan upaya Rusia untuk terus menanamkan pengaruhnya di Suriah.

Rusia –dulu Uni Soviet—memperoleh pangkalan angkatan laut Tartus di Suriah pada 1971 tanpa dimaksudkan untuk tujuan itu. Dengan sambutan terhadap kapal-kapal Rusia di Aljazair, Kuba atau Vietnam, Tartus dianggap bukan pelabuhan yang penting. Setelah Uni Soviet runtuh, Rusia pun tak punya dana untuk mengembangkan basisnya di Tartus dan tak ada alasan berinvestasi di Suriah.

Kembalinya Rusia ke Timur Tengah mengingatkan kembali pertama kalinya “negara beruang” itu menjalin hubungan dekat dengan Negara-negara Timteng. Libya adalah pembeli utama aneka persenjataan Uni Soviet dan banyak perwira militer Libia belajar di Uni Soviet. Rusia memang tak lagi menjadi kekuatan global, tapi ia bisa dipakai Libya sebagai kekuatan perlawanan untuk memblokir dominasi Amerika Serikat dan Eropa.

Ketika Khaddafi jatuh, Tartus menjadi satu-satunya basis Rusia di wilayah Timteng. Bersama dengan penemuan cadangan gas yang besar di lepas pantai, telah mengubah pelabuhan yang tak penting itu menjadi kebutuhan strategis.

Sebelumnya di PBB, Rusia sama sekali tak sadar bahwa Resolusi Dewan Keamanan 1973 yang berisi kebijakan “tanggung jawab perlindungan” (responsibility to protect) adalah jubah dari suatu agenda tersembunyi. Semula wilayah Timteng adalah zona larangan terbang lalu menjadi zona bebas bagi NATO. Kesalahan strategis Rusia adalah ia tidak memveto resolusi tersebut yang berakibat tergulingnya rezim Khaddafi dan kerugian kontrak Rusia dan investasi migas Libya hingga sebesar 10 miliar dolar.

Bagi Rusia, ini adalah kekalahan memalukan. Dan menurut sejumlah analisis, Putin tidak akan mengulangi kegagalan itu. Ia sadar Soviet sudah kehilangan setengah dari penduduknya, seperempat daratan, dan daya pengaruh globalnya. Uni Soviet mengalami apa yang Putin sebut sebagai “bencana geopolitik.”

Terlepas dari tekanan Washington dimana Perancis, Turkey, Qatar, dan Saudi Arabia bergabung didalamnya agar membujuk Bashar Al-Assad lengser, Putin nampaknya masih setia kepada rezim yang sedang terisolasi itu. Kini Putin tengah menghitung apakah Rusia akan kembali kehilangan prestisenya di dunia Arab atau mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi penting di Eropa Selatan dan di Mediterania Timur.

Rusia sendiri sudah melihat tangan Washington di Suriah dalam konflik dengan Iran. Amerika telah memimpin operasi militer di Suriah dengan Turki, Qatar, dan Arab Saudi di sebuah pusat kendali di Adana sekitar 60 kilometer dari perbatasan Suriah, yang juga menjadi pangkalan udara Amerika di Incirlik. Rusia tanpa ragu mengingatkan Amerika Serikat dan Eropa bahwa hubungan mereka dengan para ekstrimis muslim adalah permainan yang sangat berbahaya.

Namun Putin yakin pihaknya masih memegang kendali dalam “arena permainan catur” di Timur Tengah. Apalagi Turki sendiri tidak bisa main-main karena Rusia adalah pemasok dari enam puluh persen gas alam ke Turki. Dan Ankara jelas paham gas alam adalah salah satu senjata diplomatik Putin.

Ketika Turki, AS dan Eropa melihat tak ada kesempatan menggulingkan Al-Assad, maka pilihan terakhir adalah menegosiasikan penyelesaian krisis Suriah dengan Rusia sebagai mediator. Dalam konteks inilah Perancis yang punya koneksi bisnis migas yang erat dengan Rusia menjadi juru bicara dalam perundingan.

Redaktur    : Hamzah Sahal
Kontributor: Mh Nurul Huda