Jateng

Menolak Keberagaman Berarti Menolak Sunnatullah

Senin, 20 Juni 2022 | 10:00 WIB

Menolak Keberagaman Berarti Menolak Sunnatullah

Sekretaris PW GP Ansor Jateng Fahsin M Faal (kanan) (Foto: NU Online Jateng/Rifqi)

Semarang, NU Online Jateng
Perbedaan suku, etnis, budaya, agama, cara berfikir, dan sebagainya merupakan hukum alam atau sunnatullah. Karena itu golongan yang menolak keberagaman berarti menolak sunnatullah atau hukum alam.


"Ada pihak yang tidak menginginkan keberagamaan. Mereka ini mengingkari hukum alam," kata Sekretaris Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah Fahsin Muhammad Faal saat menjadi narasumber kegiatan 'Moderasi Beragama" di MG Setos, Semarang, Sabtu (18/6).


Ia lantas mengingatkan, perbedaan yang ada semestinya dikelola agar menjadi kesatuan yang indah. "Bagaimana keberagaman dan perbedaan itu menjadi harmoni, ini harus kita kelola," ujar Gus Fahsin sapaan akrabnya.


Mereka yang menolak keberagaman lanjutnya, sangat kuat dan massif bermain narasi di media sosial. Berbanding terbalik dengan moderasi agama. "Menciptakan kontranarasi itu menjadi bentuk perlawanan kita bagi kaum ekstrimis," jelasnya.


Menurutnya, narasi jihad yang banyak disiarkan di medsos dengan ajakan beperang harus ditinjau dengan metode tafsir yang sesuai konteksnya. Banyak kitab tafsir Al-Qur'an yang membedah makna jihad bukan sebatas berperang. 


"Sebab narasi yang dibangun sering menunjukkan pendangkalan terhadap makna teks-teks suci agama Islam. Ada juga banyak yang tidak memahami Al-Qur'an dengan baik, secara keilmuan sangat terbatas. Ada banyak sekali ilmu bantu untuk memahami sastra Al-Qur'an. Tidak bisa kita memahami Al-Qur'an dengan terjemahan bahasa Indonesia saja," terangnya.


Selain itu sambungnya, ada pula sejarah perjuangan Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam yang tidak mengusik budaya atau tradisi masyarakat saat itu. Dia sebut seperti Sunan Kudus yang melarang menyembelih sapi bagi warga Kudus.


Prof Abu Rohmat menjelaskan, moderasi beragama bukan hanya bagi agama Islam, tetapi untuk semua agama, dan itu telah diprogramkan oleh Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. 


Dia pun mengingatkan agar beragama dengan tetap menggunakan rasio sebagaimana sabda nabi 'tidak bisa disebut beragama bagi orang yang tidak menggunakan akalnya', "Beragama harus menggunakan akal, praktik dalam menjaga agama sekaligus menjaga negara," tandasnya.  

Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat