Jatim

Kisah dan Perjuangan Mbah Salamun, Santri Pertama KH Bisri Syansuri

Senin, 20 Mei 2024 | 09:00 WIB

Kisah dan Perjuangan Mbah Salamun, Santri Pertama KH Bisri Syansuri

Kiai Salamun bersama KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Salamun lahir di Desa Turipinggir, Megaluh, Jombang pada tahun 1914 M. Ayahnya bernama Khomsul bin Kholil dari Desa Rajekwesi, Mayong, Kabupaten Jepara. Ia tak lain adalah santri salah satu muassis NU KH Bisri Syansuri Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang.

 

Dikisahkan dalam NU Online Jatim, sebagai santri pelarian bersama dua santri lainnya ke Jombang untuk menyusul jejak langkah kiai pesantren mereka di Demak yang bernama Kiai Hasan Wira'i yang terlebih dahulu hijrah ke Jombang untuk menghindar dari kejaran tentara Belanda.

 

Di Desa Turipinggir, Khomsul yang notabenenya santri langsung Kiai Hasan Wira'i. Semenjak di Demak sudah diambil menantu Kiai Hasan yang dinikahkan dengan salah satu putrinya yang bernama Fatimah. Dari pernikahan Khomsul dan Fatimah inilah lahir Salamun beserta lima saudaranya yang lain.

 

Salamun kecil diantar ayahnya ke Pondok Pesantren Denanyar untuk nyantri kepada almaghfurlah KH Bisri Syansuri dan disaat itu usianya baru 7 tahun. Di saat awal nyantri di Pesantren Denanyar jumlah santrinya KH Bisri Syansuri yang lelaki hanyalah 7 orang, termasuk Salamun. Ketujuh santri ini menempati lokal kecil (Guthekan pawon, red) Ndalem Kiai Bisri.

 

Tak kurang setahun, jumlah santri bertambah menjadi 15 santri yang tidak memungkinkan Guthekan Pawon sekecil itu menampungnya. Akhirnya Mbah Nyai Nur Khodijah memerintahkan santri-santri (abdi ndalem) yang membantu di Ndalem untuk memotong bambu-bambu sebelah barat, untuk dijadikan gubuk yang beratapkan pelepah tebu yang nantinya akan digunakan kamar santri. Inilah kamar santri pertama di luar Guthekan Pawon ndalem.

 

Salamun bersama 14 santri lainnya bergotong royong bersama abdi ndalem untuk membangun gubuk kamar santri tersebut dan disaksikan langsung oleh Mbah Bisri.

 

Selama 3 tahun Salamun menjadi santri di Pesantren Denanyar, adiknya yang bernama Ahmadun menyusulnya untuk menjadi santri di Denanyar. Setelah 6 tahun nyantri di Denanyar, Salamun diberi saran sekaligus arahan dari Mbah Bisri Syansuri untuk melanjutkan mondok ke Pesantren Tambakberas Jombang.

 

Di Pesantren Tambakberas Salamun nyantri selama enam tahun. Sebelum menyelesaikan pendidikannya di Tambakberas, Khomsul ayahnya wafat dan itulah yang mengharuskan Salamun pulang ke rumah di Desa Turipinggir karena panggilan ibunya.

 

Setelah beberapa tahun lamanya berada di Turipinggir ia mengajarkan ilmu nahwu dan fikih. Tidak hanya itu saja ia juga mengelola sawah peninggalan ayahnya. Akhirnya Salamun direstui kembali oleh Fathimah ibunya, untuk menuntut ilmu dan melanjutkan mondok. Serta atas izin

KH Bisri Syansuri, Salamun melanjutkan ngajinya di Pondok Semelo, pesantren asuhan Kiai Umar Zaid.

 

Selama tiga tahun, Salamun nyantri di Pondok Semelo sebelum akhirnya sebuah surat tulisan tangan datang dari Mbah Bisri Syansuri, yang memberikan pesan atau mendawuhkan agar Salamun segera ikut bergabung dalam pelatihan Laskar Hizbullah.

 

Di surat tersebut ada kalimat-kalimat yang menghentak batin seorang Salamun dan santri-santri Pesantrenn Denanyar lainnya, saat membaca surat tersebut. Karena surat itu langsung ditulis oleh KH Bisri Syansuri dan diantarkan langsung santri Denanyar. Di antara kalimat surat itu tertulis:

 

قوموا ايها الشبان الكرام، خدمة لوطنكم....بكم يرتقى الوطن، بكم يرتقى الوطن

وافضلواجهدكم نيل الأمانى، جمعا وفيرا..ايها الشبان الكرام

 

Satu pesan perjuangan dari Almaghfurlah KH Bisri Syansuri kepada santri-santrinya untuk segera bergegas mempersiapkan diri membela Tanah Air. Di bawah komando Almagfurlah KH Bisri Syansuri, santri-santri Denanyar terlibat langsung dalam pertempuran yang dikenal sebagai Hari Pertempuran 10 November Surabaya.