Nasional

10 Pertimbangan PBNU Desak DPR RI Hentikan Legislasi RUU HIP

Selasa, 16 Juni 2020 | 09:54 WIB

10 Pertimbangan PBNU Desak DPR RI Hentikan Legislasi RUU HIP

Nahdlatul Ulama memandang bahwa Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang bersifat final

Jakarta, NU Online 
PBNU mendesak DPR RI agar menghentikan proses legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila. Menurut PBNU, RUU tersebut ada yang bertentangan, mempersempit tafsir, tidak relevan, tidak urgen, dan menimbulkan konflik.   


PBNU menyampaikan sejumlah alasan secara rinci agar proses legislasi itu dihentikan. Setelah Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyampaikan pengantar, Ketua PBNU Bidang Hukum dan Perundang-undangan H Robikin Emhas menyampaikan alasan-alasan tersebut, di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (16/6), sebagai berikut: 


Setelah melakukan pengkajian mendalam terhadap Naskah Akademik, rumusan draft RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan Catatan Rapat Badan Legislasi DPR RI Dalam Pengambilan Keputusan atas Penyusunan RUU HIP tanggal 22 April 2020, serta mencermati dengan seksama dinamika yang berkembang di masyarakat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) perlu menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

 

1.    Bahwa segala ikhtiar untuk mengawal, melestarikan, dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah bangsa, dasar negara, dan konsensus nasional patut didukung dan diapresiasi di tengah ancaman ideologi transnasionalisme yang merapuhkan sendi-sendi keutuhan bangsa dan persatuan nasional. 

 

2.    Bahwa Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa’) yang disepakati sebagai dasar negara adalah hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai sejak Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan rumusan final yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Secara historis, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah hasil dari moderasi aspirasi Islam dan Kebangsaan. Dengan rumusan final Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia tidak menjelma sebagai negara Islam, juga bukan negara sekuler, tetapi negara nasionalis-religius. 

3.    Bahwa rumusan final Pancasila merupakan legacy terbesar yang diwariskan para pendiri bangsa yang terdiri dari banyak golongan. Karena itu, menonjolkan kesejarahan Pancasila 1 Juni dengan mengabaikan kesejarahan 22 Juni dan 18 Agustus berpotensi merusak persatuan, membenturkan agama dengan negara, dan menguak kembali konflik ideologis yang akan menguras energi bangsa. Tindakan apapun yang dapat menimbulkan mafsadah bagi persatuan nasional wajib dihindari, karena Pancasila dirajut oleh para founding fathers justru untuk mencegah perpecahan dan mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam sebuah tenda besar. 

 

4.    Bahwa Pancasila sebagai perjanjian agung (ميثاقا غليظا) tersusun dari lima sila yang memuat nilai-nilai luhur yang saling menjiwai, di mana sila Ketuhanan menjiwai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Kesatuan nilai-nilai Pancasila yang saling menjiwai itu tidak bisa diperas lagi menjadi trisila atau ekasila. Upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila akan merusak kedudukan Pancasila, baik sebagai philosophische grondslag (falsafah dasar) maupun staatsfundamentalnorm (hukum dasar) yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945.

 

5.    Bahwa Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm adalah hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai hukum tertinggi yang lahir dari konsensus kebangsaan (معاهدة وطنية), Pancasila tidak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pengaturan Pancasila ke dalam sebuah undang-undang akan menimbulkan anarki dan kekacauan sistem ketatanegaraan.  

 

6.    Bahwa Pancasila sebagai philosophische grondslag adalah falsafah dasar yang menjadi pedoman untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara, Pancasila merupakan ideologi prinsip yang menjiwai sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Penerjemahan Pancasila sebagai ideologi kerja selalu mempertimbangkan dinamika dan perkembangan zaman. Membakukan tafsir atas Demokrasi Pancasila dalam suatu undang-undang jelas akan mempersempit ruang tafsir yang memandekkan dinamika, kreativitas, dan inovasi yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman.

 

7.    Bahwa kesalahan yang terjadi di masa lampau terkait monopoli tafsir atas Pancasila tidak boleh terulang lagi. Kendati demikian hal ini bukan merupakan dasar dan alasan yang dapat membenarkan perluasan dan/atau penyempitan tafsir atas Pancasila dalam suatu undang-undang yang isinya mengatur demokrasi politik Pancasila dan demokrasi ekonomi Pancasila sebagaimana RUU HIP.

 

8.    Bahwa obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat. Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru yang prakteknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat. Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat.

 

9.    Bahwa setelah mencermati dengan seksama Naskah Akademik dan draft RUU HIP, PBNU menyampaikan penilaian sebagai berikut:

 

1.    Pasal 3 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.  
2.    Pasal 13, 14, 15, 16,  dan 17 mempersempit ruang tafsir yang menjurus pada monotafsir Pancasila.
3.    Pasal 22 dan turunannya tidak relevan diatur di dalam RUU HIP.
4.    Pasal 23 dapat menimbulkan benturan norma agama dan negara. 
5.    Pasal 34, 35, 37, 38, 41, dan 43 merupakan bentuk tafsir ekspansif Pancasila yang tidak perlu.
6.    Pasal 48 ayat (6) dan Pasal 49 dapat menimbulkan konflik kepentingan.

 

10.      Nahdlatul Ulama memandang bahwa Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang bersifat final. Oleh karena itu Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo tahun 1983, dan dikukuhkan dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984, menetapkan hubungan Pancasila dengan Islam sebagai berikut: (i)  Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; (ii) Sila ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam islam; (iii) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia; (iv) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya; dan (v) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

 

Editor: Abdullah Alawi