Nasional

5 Catatan Kritis KontraS terhadap Revisi UU Polri: Luasnya Wewenang, Kontrol Ruang Siber hingga Penyadapan

Rabu, 22 Mei 2024 | 17:00 WIB

5 Catatan Kritis KontraS terhadap Revisi UU Polri: Luasnya Wewenang, Kontrol Ruang Siber hingga Penyadapan

Ilustrasi Polri. (Foto: dok. Humas Polri)

Jakarta, NU Online

DPR RI bersama pemerintah berencana membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). UU Polri yang sudah berlaku lebih dari 20 tahun ini merupakan tindak lanjut dari Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 mengenai pemisahan TNI dan Polri.


Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, mengkritik perubahan UU Kepolisian karena minim partisipasi publik dan dianggap tidak menyelesaikan masalah institusional Polri. Dia menjelaskan 5 catatan kritis KontraS terhadap revisi UU Polri.


Pertama, RUU Polri dapat memperluas kewenangan Kepolisian, termasuk pengawasan dilakukan melalui penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber.


"Rencana “pembinaan” dan “pengawasan” terhadap ruang siber juga jangan sampai digunakan sebagai justifikasi untuk menyerang masyarakat yang bersuara kritis melalui media sosial dan melakukan serangan digital terhadap aktivis, jurnalis, pembela HAM dan pembela Lingkungan Hidup seperti yang pernah dialami oleh Jurnalis Narasi beberapa waktu yang lalu," kata Dimas dalam laman resmi KontraS dikutip NU Online, Rabu (22/5/2024).


Kedua, Dimas menerangkan tentang RUU Polri juga menambahkan pasal mengenai perluasan kewenangan untuk melakukan penyadapan, dan perluasan kepada bidang Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri untuk melakukan penggalangan intelijen.


"Di tengah kondisi intelijen Indonesia yang masih memiliki berbagai persoalan, dimasukkannya kewenangan untuk melakukan penggalangan intelijen berpotensi memunculkan overlapping of authority antar lembaga," jelasnya.


Ketiga, RUU Kepolisian tidak memperkuat dan menegaskan posisi serta kewenangan lembaga pengawas atau oversight terhadap Polri seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Selama ini Kompolnas nampak tidak menunjukkan performa yang baik sebagai lembaga pengawas bahkan cenderung menunjukkan disfungsi dalam melakukan kerja-kerjanya.


Data KontraS mencatat, sebanyak 198 kasus kekerasan melibatkan anggota Polri sepanjang Januari sampai April 2024 menunjukkan perlunya penguatan lembaga pengawas seperti Kompolnas.


"Maka sudah seharusnya perluasan kewenangan tersebut juga disertai dengan penguatan oversight mechanism. Pada dasarnya kewenangan yang luas juga perlu diiringi dengan pengawasan yang ketat untuk meminimalisasi angka penyelewengan," kata Dimas.


Keempat, pada RUU Kepolisian masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Tetap diaturnya Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian, kata KontraS, mungkin merupakan pengejawantahan konsep “pemolisian masyarakat” ala Kapolri Jenderal Listyo Sigit.


"Meski begitu, kami menilai bahwa tetap diaturnya perihal Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian sesungguhnya minim urgensi dan justru memunculkan potensi timbulnya pelanggaran HAM seperti kasus pembubaran yang dialami oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Sanur, Bali pada 2022 silam," jelasnya.


"Oleh karena itu pengaturan mengenai Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian perlu ditinjau kembali," sambung Dimas.


Kelima, dinaikkannya batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri juga belum memiliki urgensi yang jelas.


Sehingga, dinaikkannya usia pensiun dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal Kepolisian namun tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri.


"Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses rekrutmen dan kaderisasi dalam internal Kepolisian,"