Nasional

Pembunuhan 4 Anak Jagakarsa, Ahli Pidana Tekankan Pentingnya Respons Cepat Polisi dalam Kasus KDRT

Kamis, 14 Desember 2023 | 15:00 WIB

Pembunuhan 4 Anak Jagakarsa, Ahli Pidana Tekankan Pentingnya Respons Cepat Polisi dalam Kasus KDRT

Ilustrasi perlindungan anak. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Ahli Pidana dari Universitas Sebelas Maret (UNS), M Rustamaji menyoroti kelambanan kepolisian dalam penanganan kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berujung pembunuhan empat anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Rabu (6/12/2023). 


Diketahui, sebelum pelaku Panca Darmansyah (41), membunuh keempat anaknya, ia sempat dilaporkan oleh istrinya Devinsa Putri (27) karena tindak KDRT pada Sabtu (2/12/2023). Namun polisi belum sempat menangani dengan dalih keempat anaknya tak bisa ditinggal karena sang istri Devnisa dirawat di Rumah Sakit.


"Munculnya kasus KDRT kemudian ditindaklanjuti dengan laporan kasus kepolisan itu memang sudah prosedurnya demikian. Cuma kecepatan responsivitas dari aparat memang harus dipertanyakan ketika KDRT yang pertama pelaku melakukan penganiayaan fisik kepada istri sampai tidak bisa menjalankan aktivitas keseharian dan masuk rumah sakit," kata Rustamaji kepada NU Online, Kamis (14/12/2023).


Melihat fakta hukum yang terjadi, polisi seharusnya bertindak melakukan penangkapan dan penahanan untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut mengenai tindakan pidana KDRT yang dilakukan, termasuk detail tempat dan waktu kejadian.


"Kalau langkah itu dilakukan tentu saja kematian empat anak dari korban maupun pelaku ini dapat dihindari," terang dia.


Dalih menjaga keempat anak, kata Rustamaji, seharusnya tidak menghalangi proses penangkapan dan penahanan. Kepolisian bisa mengatasi kendala tersebut dengan mengalihkan keempat anak kepada dinas sosial setempat atau bekerjasama dengan panti asuhan setempat selama sang ibu dirawat di rumah sakit. 


"Itu yang kemudian secara teoritis maupun praktis agaknya luput dalam proses penanganan hal ini. Yang terjadi adalah KDRT lanjutan yang mengakibatkan kehilangan nyawa keempat anaknya, wajar jika responsivitas aparat menjadi bahan pertanyaan," ujar Rustamaji.


Rustamaji mengatakan kelambanan penanganan dapat menyebabkan tindak pidana berulang. Ia mengusulkan peningkatan responsibilitas aparat hukum, terutama setelah kematian keempat anak di Jagakarsa, sebagai langkah kunci dalam mencegah terulangnya kejadian serupa. 


Salah satu tujuan subjektif dari penahanan adalah mencegah pelaku melarikan diri, mencegah tindak pidana berulang, atau menghilangkan barang bukti, sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


Rustamaji mengakui dalam mekanisme laporan KDRT kepolisian sering lamban dan acap kali  pelapor dan terlapor mencapai perdamaian sebagai bentuk keadilan baru yang bersifat restorative justice untuk memberikan pemulihan atau keadilan. Namun, jika KDRT berlanjut dengan kejadian serupa, itu merupakan kesalahan fatal. Mekanisme yang seharusnya diadopsi adalah responsibilitas.


"Aparat penegak hukum harus bertindak dengan serius ketika ada laporan KDRT, karena keluarga adalah pondasi suatu bangsa. Untuk mencegah efek domino, penanganan aktif terhadap keluarga yang terbebas dari KDRT perlu dipahami oleh semua aparat penegak hukum," bebernya.


Misalnya ketika menerima laporan, responsibilitas, kecepatan, dan efisiensi menjadi kunci. Langkah-langkah diskresional juga penting, terutama jika perdamaian merupakan pilihan yang memungkinkan. Namun, jika perdamaian tidak memungkinkan menurut Rustam, tindakan penegakan hukum menjadi pilihan terakhir.


UU penghapusan KDRT

Rustamaji kemudian menyoroti perkembangan positif terkait penerapan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT). Menurutnya, penerapan prinsip-prinsip UU tersebut tidak hanya memberikan perlindungan yuridis, tetapi juga non-yuridis yang penting untuk memastikan keadilan dan pemulihan bagi korban.


"Ada kemajuan yang patut disyukuri terkait dengan UU PDKRT, di mana korban kejahatan sekarang tidak hanya dianggap sebagai alat bukti (Bewijsmiddelen) tetapi juga mendapat perlindungan lebih luas," ungkapnya.


"Saya berharap ke depan ada perbaikan dalam penegakan hukum (law enforcement) terkait kasus KDRT. Ini harus menjadi pelajaran penting bahwa tindakan KDRT harus mendapatkan respons yang adekuat dan tidak dapat diabaikan," imbuh Rustamaji.