Nasional

Dari Buntet Pesantren, Berjuang untuk NKRI

Ahad, 10 April 2016 | 15:30 WIB

Buntet, NU Online
Menag Lukman Hakim Saifuddin memandang kontribusi Pondok Buntet Pesantren bagi kemajuan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat besar. Hal ini disampaikan Menag saat memberikan sambutan pada Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Sabtu (09/04) malam.

Menurutnya, Pondok Buntet Pesantren dirintis oleh Kiai Muqoyyim bin Abdul Hadi, yang lebih dikenal dengan Mbah Muqayyim, pada tahun 1750 M. Karena kepeduliannya yang sangat tinggi terhadap masyarakat dan pondok pesantren, beliau rela meninggalkan jabatannya sebagai “mufti” di Kesultanan Kanoman Cirebon.  

“Meninggalkan jabatan terhormat demi merintis pondok pesantren merupakan keputusan yang tidak semua orang mampu melakukannya. Subhanallah,” puji Menag seperti dikutip dari laman kemenag.go.id.

Dari pesantren Buntet ini juga, lahir sosok Kiai Muta’ad, Kiai Anwaruddin Kriyani yang lebih dikenal Ki Buyut Kriyan, Kiai Jamil, dan Kiai Abbas. Nama terakhir dikenal sebagai  ulama yang berpandangan luas. Bersama Kiai Anas dan Kiai Akyas, Kiai Abbas mengembangkan Tarekat Tijaniyah dan mengantarkan  Pesantren Buntet sebagai “kekuatan politis-tradisional” yang berkontribusi konkret dalam pembangunan bangsa. 

Kontribusi pendidikan Kiai Abbas bahkan tidak hanya di Tanah Air, tapi juga di Tanah Suci. Sembari nyantri, Kiai Abbas juga ikut mengajar di Makkah. Bahkan, dalam pandangan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ary, Kiai Abbas memiliki banyak kelebihan. 

Sebagai pejuang bangsa, Kiai Abbas juga berkontribusi besar dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ia adalah pimpinan rombongan pejuang Cirebon yang berangkat menuju Surabaya. Ketika Bung Tomo datang berkonsultasi kepada Hadratus Syaikh untuk meminta persetujuan dimulainya perlawanan rakyat terhadap Inggris, pendiri PBNU itu menyarankan agar perlawanan rakyat jangan dimulai sebelum Kiai Abbas datang ke Surabaya. 

“Kisah ini menunjukkan betapa Kiai Abbas dan santri-ulama Cirebon lainnya dipandang memiliki kekuatan yang luar biasa dalam pertempuran 10 Nopember 1945,” tutur Menag.

Dikatakan Menag, rekam jejak kiai pesantren Buntet ini memunculkan keyakinan  bahwa NKRI dapat meraih kemerdekaannya berkat perjuangan ulama dan kiai pesantren. Mereka telah  memperjuangkan jiwa dan raganya untuk  keislaman dan keindonesiaan sekaligus. Mereka telah memperjuangkan keislamannya, tanpa mengorbankan keindonesiaan. Demikian juga sebaliknya, memperjuangkan keindonesiaan tanpa melupakan keislaman. 

“Islam-Indonesia adalah Islam kita. Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur keindonesiaan dan menegakkan jati diri bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pekik Menag.

Menurutnya, pelajaran dari kiai Buntet ini harus dilanjutkan, terutama dalam konteks menghadapi pemahaman dan gerakan keagamaan radikal yang mendegradasi karakteristik keagamaan khas Indonesia dan mengancam eksistensi NKRI.

Sebelumnya Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet KH Nahduddin Royandi Abbas menyampaikan bahwa acara haul semacam ini sudah dilakukan sejak 600 tahun lalu. Keberadaan Pondok Buntet Pesantren yang berbaur dengan masyarakat, menjadikan masyarakat dengan pesantren menyatu. Masyarakat dan pesantren rukun dan saling bergaul, membaur layaknya keluarga besar yang membangun peradaban Islam di Buntet. Red. Mukafi Niam