Nasional

Guru Besar UIN Nilai, Karakterisasi Islam Sudah Ada Sejak Dulu

Senin, 11 April 2016 | 13:38 WIB

Jakarta, NU Online
Prof Masykuri Abdillah, Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menilai bahwa istilah-istilah untuk karakterisasi Islam sudah ada sejak dahulu kala. Menurutnya, ada karakterisasi yang diambil dari nama tokohnya walaupun tokoh tersebut tidak mendeklarasikan diri seperti mazhab Hanafi (yang dirujukkan dengan Imam Hanafi), mazhab Maliki (yang dirujukkan dengan Imam Maliki), mazhab Syafi’i (yang dirujukkan dengan Syafi’i), dan mazhab Hambali (yang dirujukkan dengan Imam Ahmad bin Hambal). 

“Namun juga ada yang menggunakan nama tokoh, tetapi tidak diterima oleh para pengikutnya misalnya Abdullah bin Abdul Wahab yang kemudian disebut Wahabi. Itu pengikutnya tidak mau disebut dengan Wahabi dan mereka lebih setuju dengan menggunakan istilah Salafi karena (istilah Wahabi) itu syirik,” jelasnya.

Hal tersebut disampaikan Prof Masykuri saat memberikan sambutan pada acara seminar internasional Islam Nusantara to World Civilization di Aula Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Senin, (11/4) siang.

Selain diambil dari nama tokoh, lanjut Prof Masykuri, ada juga istilah karakterisasi yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadist seperti Islam Wasatiyyah, Islam Rahmatal lil ‘Alamin, Islam Sunni, Islam Syiah. 

“Ada juga sekarang (istilah karakterisasi Islam yang diambil) dari negara, ini Islam Nusantara. ini satu-satunya (karakterisasi) Islam yang menggunakan istilah negara,” paparnya.  

Islam Nusantara untuk Peradaban Dunia

Prof Masykuri menjelaskan bahwa istilah Islam Nusantara itu sudah lama dibahas tetapi tidak ada perdebatan, namun baru sekarang lah istilah ini menjadi bahan perdebatan dan dibahas secara mendalam. Ia menjelaskan bahwa hadirnya Islam Nusantara adalah sebagai upaya untuk meneguhkan kembali karakteristik Islam yang ada di Nusantara dan yang tidak dimiliki oleh Islam di negara lain.

“Nusantara itu bukan hanya Indonesia, tapi Melayu termasuk Malaysia, Brunei, bahkan Filipina,” tegas Prof Masykuri.

Direktur Pascasarjana UIN Jakarta tersebut mengajak umat Islam untuk memahami agama dan teks-teks agama secara menyeluruh dan menghargai perbedaan agar tidak memiliki pandangan dan tindakan yang ekstrim.        

Sementara itu, Zainul Milal Bizawie penulis buku Masterpiece Islam Nusantara menjelaskan bahwa istilah Islam Nusantara itu merupakan hal yang penting sebagai citra Islam yang damai, toleran dan moderat. “Ini (Islam Nusantara) bukan sebagai Islam yang baru, bukan sebagai mazhab yang baru, tapi ini hanya sebatas identitas saja bahwa Islam di Indonesia ini berbeda,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Zainul Milal mencontohkan bahwa ketika orang Barat mendengar kata “Islam”, maka yang ada dalam bayangan orang Barat tersebut adalah peperangan yang ada di Timur Tengah, terorisme, dan radikalisme. 

“Ada orang Islam, tapi dimana. Itu penting sekali karena itu akan membuat pihak yang lain (memiliki pandangan yang) moderat kepada kita. Ketika mereka mendengar Islam Nusantara, Insyaallah mereka akan bersahabat dengan kita karena terkenal toleransi dan kemoderatannya,” terang Zainul.

Selain Zainul Milal Bizawie, yang menjadi narasumber acara seminar internasional ini adalah James B. Hoesterey (peneliti Emory University USA) dan Brian Lee (peneliti Heavenly Culture). (Muchlishon Rochmat/Mukafi Niam)