Aku yakin nama kawanku itu tafaul pada sosok Gus Dur, sebab dari guruku inilah aku sering mendengar cerita perihal Abdurrahman Wahid. Bagi guruku dan tentu di angan-angan kami saat mendengar guruku bercerita, Gus Dur ini sosok yang begitu luar biasa.
Pernah dengan sungguh-sungguh kami mendengar guruku bercerita tentang ilmu laduni, mukjizat nabi-nabi, keutamaan Rasulullah, dan juga tentu tokoh legendaris Nabi Khidir, sampai ke Wali Songo.
Dan Gus Dur memiliki ciri-ciri itu yang membuatnya sedemikian luar biasa. Bahkan kadang dibumbui cerita-cerita yang membuat terpukau tentang asal muasal keluarganya, sampai ke Joko Tingkir. Tentang ilmu macam-macam, ilmu kebal, terbang, tameng wesi, rog-rog asem, dengan berbagai macam senjata-senjata pusaka seperti sabut inten, ontokusumo, dan lain-lain.
Tentu itu menjadi semakin luar biasa karena alam pikiran kami dibentuk juga dengan lingkungan kampung kami yang katakanlah hal-hal demikian itu nampak nyata di sekitar kami.
Tahun-tahun 1990-an, di malam-malam tertentu sebelum Magrib di mulai, tak jarang berterbangan cahaya-cahaya secara horisontal melesat cepat beraneka warna melintas di atas kami. Kata orang-orang tua kami, itu bisa berupa bebatuan alam, keris, atau macam-macam hal yang sedang mencari tuan.
Di nuansa seperti inilah, Gus Dur bagi kami yang sering mendengar ustadz kami bercerita, merupakan sosok yang sedemikian jauh dapat kami bayangkan luar biasanya. Kalau ada kategori manusia di atas “malaikat”, ya itulah Gus Dur bagi kami pada masa kecil.
Guruku memang pengagum Gus Dur sendari ia muda dulu. Sejak dia memasuki masa pendidikan di pesantren, mengabdi di Sarang bertahun-tahun, ia bercerita mulai mengenal Gus Dur. Bahkan saat ia mendirikan partai yang notabene menjadi ‘penyaing’ partai guruku, tempat beliau berkhidmat sampai menjadi ketua ranting di kampung, guruku tetap terus menjadi pengagum Gus Dur hingga sekarang. Tak pernah sedikitpun guruku mencela pilihan dan partainya.Menurut guruku, itu semua sudah ada yang mengatur.
Saat Gus Dur mendirikan partai di era Reformasi inilah aku sedikit banyak memiliki gambaran yang lebih ‘manusiawi’ tentang tokoh satu ini. Sebagai sosok wali yang luar biasa Gus Dur tetap ada pada diriku, tetapi unsur-unsur lain tentangnya yang diceritakan agak berlebihan mulai sirna.
Sebelum melanjutkan, saya ingin cerita kakek terlebih dahulu. Almarhum kakekku, sedari muda, meski kecil orangnya, pernah disegani karena kemampuan silatnya yang cukup mumpuni, beliau pengagum Hadrotusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Di masa mudanya gemar berpuasa, dan berguru untuk mengasah kemampuan beladiri, dan masuk GP Ansor. Aku pernah diajarinya ilmu toya dan silat olehnya, namun tak satu pun yang menerap.
Di masa transisi Orde Lama ke Orde Baru, kakekku ini bercerita di saat genting-gentingnya beliau harus naik ke genteng-genteng markas lawan politik, untuk tahu target dan hal apa yang akan dilakukan mereka, dan tentu pernah berduel dengan tokoh-tokoh lawan politik itu di kampungku. Hal yang sama sekali tak dapat aku kenali lagi dari sosok kakekku yang sudah cukup umur. Hanya saja, saat Gus Dur mendeklarasikan partainya inilah kemudian aku kembali melihat kakekku berapi-api mendukungnya. “Keturunan kiai besar tokoh satu ini,” katanya padaku.
Tiap kali ada event-event besar partai, yang biasa dalam bentuk istighosahan bersama di kota kabupaten, aku sering diajak kakekku. Dari kampanye-kampanye partai dan cerita kakekku inilah aku setiap hari mendengar sosok Gus Dur. Tapi setelah rangkaian-rangkaian politik krusial di awal tahun 2000-an sampai Gus Dur lengser, akhirnya aku harus meninggalkan wacana-wacana tentang Gus Dur, fokus pada kesibukan sekolahku, yang pagi di SMP seterusnya SMA, dan sorenya di Madrasah.
Barulah di tahun 2005, saat aku hijrah ke Jakarta, selepas SMA, jejak-jejak Gus Dur kembali hadir. Bagiku tahun-tahun ini menjadi sedemikian begitu luar biasa karena di lingkungan baruku, aku sedikit banyak mengikuti diskursus-diskursus penting tentang Islam, toleransi, Aswaja, kekerasan atas nama agama, krisis di Timur Tengah, ngaji Shahih Imam Bukhori, mengenal filsafat Barat, ngaji bukunya Karen Armstrong, Philip K. Hitti, tasawuf, filsafat Islam dan lain-lain.
Kudapati di tempatku ini beberapa peninggalan Gus Dur, kursi kantor yang kata teman seasramaku dulu dipakai Gus Dur, jurnal, buku, dan foto-foto, dan juga tentu perbincangan-perbincangan orang-orang di sekitarku tentangnya.
Di awal 2006, di acara halal bihalal di hotel Nikko, aku untuk pertama kalinya ketemu langsung dengan Gus Dur. Aku lupa persis dulu Gus Dur bersama siapa saja. Yang aku tahu, aku hanya berdiri terpaku di stand penerima tamu, berdiri mematung saja meski ingin ikut mengerumuni Gus Dur untuk mencium tangannya. (Khayun Ahmad Noor)
Dalam rangka peringatan Haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU Online akan memuat tulisan anak-anak muda tentangnya. Setiap hari akan dimuat satu tulisan. Jika ingin turut berpartisipasi, sila kirim tulisan Anda ke redaksi@nu.or.id.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua