Nasional

Gus Mus: Bersyair Cara KH Hasyim Asy’ari Jaga Persatuan dan Kesatuan

Sabtu, 6 Februari 2021 | 08:03 WIB

Gus Mus: Bersyair Cara KH Hasyim Asy’ari Jaga Persatuan dan Kesatuan

Hadhratussyekh KH Hasyim Asy'ari. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Pendiri Nahdlatul Ulama Khadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari memiliki cara unik dan berbeda dalam mengungkapkan perbedaan pandangan atau pendapatnya kepada ulama lain. Kiai Hasyim sering mengungkapkan perbedaan pandangan tersebut melalui syair. Hal ini dilakukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan, karena dengan syair, hanya orang-orang tertentu yang bisa memahaminya.


“Ini yang patut ditiru. Ketika berdebat, berpolemik dengan para kiai, (Kiai Hasyim) menggunakan syair. Jadi itu untuk membatasi perbedaan ini jangan sampai disalahpahami. Karena Kiai itu mempunyai anak buah,” Kata KH Musthafa Bisri (Gus Mus) pada Haul Virtual Ke-1 KH Salahuddin Wahid, Sabtu (6/2).


Berbeda dengan zaman sekarang di mana para tokoh, jika memiliki perbedaan pendapat, malah menunjukkannya ke publik sehingga para pengikutnya ikut masuk dalam konflik perbedaan yang pada akhirnya konflik pun meluas. 


Selain menggunakan syair, KH Hasyim Asy’ari juga sering mengungkapkan pemikirannya melalui tulisan dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk menyaring siapa saja yang perlu tahu tentang pemikirannya dan siapa yang tidak.


“Sehingga tujuan dari Khadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari untuk mempersatukan umat ini terbaca dengan jelas,” kata Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah ini.


Sehingga Gus Mus mengajak semuanya khususnya para kiai dan tokoh panutan untuk meneladani KH Hasyim Asy’ari dengan terus belajar dan tidak boleh berhenti ngaji. Karena menurutnya, hanya orang alim yang bisa mengamalkan ilmunya. “Kalau orang tidak punya ilmu, bagaimana mau mengamalkan ilmunya? Orang yang sudah punya ilmu saja jarang yang mengamalkan ilmunya,” ungkapnya.


KH Hasyim Asy’ari lanjut Gus Mus memiliki kedalaman dan keluasan ilmu yang diakui oleh masyarakat luas di Indonesia. Hampir semua ulama pesantren saat ini pernah menyerap ilmu dan pemikiran dari KH Hasyim Asy’ari.


“Bisa kita tandai, kok ada kiai tidak toleran, kok ada kiai tidak bisa bergaul dengan orang lain, ya mungkin itu sanadnya terputus dengan Khadratussyeikh,” ungkapnya pada Haul yang dibarengkan dengan Seminar Nasional bertajuk Memadukan Keberagaman, Bangsa Termajukan.


Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang hadir pada Haul tersebut mengatakan bahwa secara sosiologis Paska reformasi muncul proses dikontinuitas. Pergerakan-pergerakan keagamaan baru di berbagai agama termasuk ‘Islam baru’ memunculkan fanatisme dan ekstremisme baru serta memberi corak Islam yang mengeras dan mengarah pada intoleran.


Menghadapi kondisi ini, umat Islam harus mengedepankan jiwa yang wasathiyah (moderat) dan meniru dua tokoh pendiri Ormas NU dan Muhammadiyah.

 

“Jadi kalau menghadapi fanatis beragama, ekstrem beragama, radikalisme beragama, tidak perlu dengan cara radikal. Kalau radikal dilawan radikal berarti kita juga masuk dalam radikalisme atau dalam ekstremisme,” jelasnya.


Sebenarnya fanatisme beragama menurut Haedar merupakan sebuah hal yang lumrah. Namun ketika dipahami secara parsial dalam dimensi yang serba tekstual maka akan memunculkan pemahaman dangkal yang melahirkan fanatisme buta.


Pewarta: Muhammad Faizin

Editor: Fathoni Ahmad