Nasional

Haul, Tradisi Baik yang Perlu Dilestarikan

Ahad, 10 April 2016 | 15:04 WIB

Buntet, NU Online
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menghadiri haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren, Cirebon. Menurutnya, haul  atau peringatan tahunan atas wafatnya seseorang merupakan tradisi baik yang patut dilestarikan. Melalui haul, masyarakat bisa belajar meneladani kepribadian, pemikiran, dan perjuangan para ulama yang telah wafat. 

“Tradisi, haul bukanlah perbuatan bid’ah, apalagi bid’ah yang sesat. Namun itu merupakan perbuatan yang sangat baik sekaligus patut ditiru dan terus dilestarikan,” kata Menag di hadapan pengasuh, santri, dan masyarakat Buntet, Cirebon, Sabtu (09/04) malam seperti dikutip dari laman kemenag.go.id.  

Acara yang mengusung tema “Merawat Tradisi Melanjutkan Inovasi” ini dihadiri ribuan masyarakat yang datang dari berbagai daerah. Hal ini menunjukan kharisma yang begitu kuat dari para kiai Buntet sehingga  antusias masyarakat tidak surut meski hujan turun lebat jelang acara dimulai.

Menag sendiri merasa bersyukur bisa hadir sehingga bisa lebih mengenal sejarah  penting masyayikh dan ulama pesantren Buntet. Dikatakan Menag, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, munculnya pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah awal kedatangan Islam ke Indonesia pada abad ke-6 M. menurutnya, pesantren lahir dari rahim budaya Indonesia yang asli. Pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat, sehingga antara pesantren dengan komunitasnya memiliki keterkaitan erat.

“Pesantren telah melahirkan ulama, tokoh agama, para pemimpin masyarakat yang telah memberikan sumbangan besar bagi pendirian dan kemajuan bangsa,” kata Menag. Sebagai contoh, Menag menyebut beberapa ulama yang dilahirkan Pesantren pada awal abad ke-20, yaitu: Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib, dan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Bahkan sebelumnya sekitar abad ke-16 dan 17 M, telah muncul ulama besar, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nurudin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel, dan Abdul Samad al-Palimbani.

“Torehan tinta sejarah emas pondok pesantren sangat berjasa terhadap bumi pertiwi Nusantara,” tandas Menag. Red. Mukafi Niam