Nasional SETENGAH ABAD LESBUMI

Humanisme Relijius Lesbumi

Selasa, 17 April 2012 | 03:38 WIB

Jakarta, NU Online 
Pandangan kesenian Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU yang didirikan di Bandung pada 28 Maret 1962 silam adalah humanisme relijius, yaitu berlandaskan kepada ketauhidan dan kemanusiaan. Landasan itu adalah, hablum minallah wahablum minan nas.<>

Hal itu ditegaskan Choirotun Chisaan dalam buku Lesbumi; Strategi Politik Kebudayaan. Pandangan Lesbumi semacam itu, sambung Choirotun, merupakan gejala baru di Indonesia di antara pandangan-pandangan kesenian lain yang muncul di tahun 50-60-an.

Senada dengan Choirotun, budayawan Hairus Salim menjelaskan, “Humisme itu di dalam filsafat, ada humanisme teistik dan humanisme ateistik, yang bertuhan dan tidak bertuhan. Nah, Asrul Sani dan kawan-kawan itu menyadari bahwa agama itu harus jadi landasan moral. Etik, begitu, ya. Spirit di dalam berkarya itu."

Tetapi lanjut Hairus, karya itu bukan kemudian dipigura dengan keagamaan yang verbal. Tapi, jadi spirit.  “Nah, kalau dalam keagamaan, yang seperti ini masuk ke kalangan tasawuf. Itu kan humanisme relijius. Topik-topik di dalam sastra itu tidak ada lagi masalah perbedaan agama, misalnya di dalam karya Rumi, kita itu menuju tuhan yang satu, tapi kapal kita beda-beda. Itu kan humanisme, tetapi relijius. Agama jadi inspirasi pada karya,” tambahnya. 

“Lalu bagaimana dengan humanisme relijius itu,” lanjut Hairus, “tontonlah film Tauhid. Tontonlah film Titian Serambut Dibelah Tujuh yang dibuat Asrul. Lalu novel otobiografisnya Guruku dari Orang-orang Pesantren karya Saifuddin Zuhri,” tegasnya.   

Dalam kaitannya dengan kebudayaan Indonesia, dalam anggaran dasar Lesbumi disebutkan, bahwa Lesbumi berusaha memupuk, memelihara dan mempertahankan dan memperkembangkan kesenian dan kebudayaan yang menjiwai kesenian dan kebudayaan nasional. Sementara itu, dalam penerimaannya terhadap kebudayaan asing, Lesbumi mencari titik-titik persesuaian yang bersifat positif pada seni dan kebudayaan yang bersumber dari luar Islam. 


Redaktur: A. Khoirul Anam
Penulis   : Abdullah Alawi