Humanitarian Islam Selaras dengan Norma Kewarganegaraan
Selasa, 15 Oktober 2024 | 07:00 WIB
Rikhul Jannah
Kontributor
Medan, NU Online
Dosen Sosiologi Universitas Sumatera Utara (USU) Harmona Daulay menyampaikan saat ini Humanitarian Islam muncul sebagai pendekatan yang menawarkan solusi berbasis pada nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Islam, nilai yang menekankan pada kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan perdamaian.
“Islam menjadi tuntunan bagi masyarakat Indonesia untuk melaksanakan syariat, dan berinteraksi dengan penduduk sesama agama hingga kebangsaan,” ujar Harmona dalam acara Seminar Pendahuluan Konferensi Internasional Humanitarian Islam dan Kebudayaan di USU pada Senin (14/10/2024).
Ia menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) dan Humanitarian Islam memandang Islam dan kewarganegaraan sebagai hal yang kompatibel dan saling menguntungkan. Hal itu berdasarkan nilai dan prinsip Islam yang selaras dengan ide dan norma kewarganegaraan.
NU dan Islam Humanitarian, menurutnya, dapat berfungsi sebagai model bagi dunia Muslim dan umat manusia secara luas untuk membina masyarakat yang lebih damai, toleran, dan inklusif.
Tantangan Indonesia
“Kenapa sih Humanitarian Islam ini perlu? Karena tantangan kita ada di dalam global dan di dalam Indonesia itu sendiri,” ujar Harmona.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki pluralitas penduduk yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari keragaman etnis, suku, budaya, dan agama. Dilihat dari kondisi yang serba plural tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia menyimpan potensi konflik yang tinggi.
“Adanya fanatisme agama yang tidak didukung pemahaman baik akan menumbuhkan radikalisme atau kebencian-kebencian agama lain. Maka kita perlu adanya semangat, toleransi antar suku, etnis, budaya, dan agama demi menghindari terjadinya konflik yang mengarah pada tindak kekerasan dan tindak radikal,” ujar Harmona.
Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU itu menyampaikan perlunya tawaran keindonesiaan dalam Humanitarian Islam. Hal ini sebagai tali pengikat yang mampu menyatukan keduanya.
Menurutnya, hal tersebut bisa dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran dalam memupuk rasa cinta kepada tanah air atau nasionalisme, Pancasila sebagai common platfrom (titik temu) dan Bhineka Tunggal Ika. “Ini menjadi satu sinergitas dari kehidupan kita berbangsa dan beragama,” ujarnya.
Ia menjelaskan pendekatan pemikiran semangat keislaman dan keindonesiaan menurut Nurcholish Madjid, bahwa pendekatan kritis-dekonstruktif merupakan suatu pemikiran yang menyakini bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang sifatnya statis dan tidak berubah.
“Mungkin ini yang menjadi pemicu NU untuk menggali bahwa bagaimana dialog-dialog kebenaran kedepan yang akan berbeda dengan dialog-dialog pada masa lampau, karena kebenaran harus dikaitkan dengan tantangan global,” ungkapnya.
Harmona menambahkan menurut Nurcholish Madjid, pendekatan humanistik-antroposentris merupakan suatu pemikiran yang lebih menekankan pada pembelaan terhadap harkat kemanusiaan daripada klaim-klaim kebenaran.
“Sehingga keislaman menurut Nurcholish Madjid adalah pluralism, inklusivesme, dan mencari titik temu agama. Bentuk keindonesiaan yakni civil society, keadilan, keterbukaan, menjaga kearifan lokal, menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila,” ujarnya.
Harmona juga menambahkan bahwa pluralisme tidak hanya cukup dengan mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat bersifat majemuk, tetapi yang lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan tersebut bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia. Sebab, menurutnya, hal tersebut akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam.
“Jika melihat dari kebinekaan maka common platfrom ini yang dapat mempersatukan pluralisme Indonesia. Implikasinya, segala perbedaan dapat teratasi dan apabila terjadi gesekan-gesekan, maka hal tersebut tidak terlalu membahayakan bagi keutuhan NKRI jika kearifan lokal ditempatkan diatas kepentingan golongan, suku, ras, dan agama,” ujar Harmona.
Oleh karena itu, Harmona menggabungkan semangat keislaman dan Pancasila. Keislaman menjadi manifestasi Islam yang ramah, toleran, moderat, dan inklusif. Hal itu juga diwujudkan dengan mengakui dan menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, demokrasi, masyarakat sipil yang adil dan terbuka, serta menjunjung tinggi kearifan lokal yang dimiliki oleh masing-masing daerah yang ada di Indonesia sebagai sumber kekayaan dan persatuan Indonesia.
“Saya melihat praktik-praktik baiknya sudah dilakukan, misalnya moderasi beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), sehingga saya berharap agen-agen sosialisasi humanitarian islam mulai dari keluarga, sekolah, tokoh adat, tokoh agama, pegiat-pegiat lainnya bisa bersama-sama bersinergi untuk merawat perdamaian dalam konteks kebangsaan dan keindonesiaan,” ujar Harmona.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua