Nasional

Indonesia dan Turki, Negara Muslim yang Mampu Satukan Islam dan Kebangsaan

Senin, 18 Juli 2016 | 12:01 WIB

Indonesia dan Turki, Negara Muslim yang Mampu Satukan Islam dan Kebangsaan

Suasana diskusi Taswirul Afkar di Perpustakaan PBNU, Senin (18/7)

Jakarta, NU Online
Indonesia dan Turki merupakan dua negara yang mampu menyatukan paham keislaman dan kebangsaan. Tentu hal ini atas jasa para pemikir yang mampu menyatukan dua hal yang oleh kebanyakan orang sebagai sebuah dikotomi yang tidak bisa disatukan. 

Menurut Wakil Sekjen PBNU H Masduki Baidlawi Turki memiliki Fethullah Gulen sedangkan Indonesia memiliki Gus Dur. Dalam banyak hal, kedua tokoh tersebut memiliki banyak kemiripan sehingga tak heran jika pandangan keislaman dan kebangsaannya mirip. 

“Tidak banyak negara yang mampu membangun satu hubungan yang harmonis antara paham keagamaan dan demokrasi. Yang berjasa besar di Turki adalah Fethullah Gulen,” katanya dalam diskusi di PBNU, Senin (18/7). 

Ia menuturkan suatu ketika Fathullah Gulen yang merupakan tokoh sangat berpengaruh ini ditanya oleh kelompok Islam Kanan yang sangat fikih sentris dan tekstualis. “Menurut anda saat ini menurut berdasarkan hukum fikih, Turki masuk dalam darul harb atau darul Islam. Beliau dengan cerdas menjawab, Turki bukan darul harb atau darul Islam, tetapi darul hikmah.” 

Dari perjuangannya tersebut, Gulen memiliki banyak pengikut seperti Necmettin Erbakan, Abdullah Gul, dan Erdogan. Sayangnya persekutuan tersebut akhirnya bubar bahkan menjadi dua pihak yang saling berseberangan. 

“Betapa berharganya Turki bagi dunia Islam, menjadi negara yang menjembatani paham Islam yang kompatibel dengan demokrasi,” tandasnya.

Di Indonesia, Gus Dur mampu melakukan elaborasi dari pemikiran KH Ahmad Siddiq, melalui gerakan civil society yang kuat Dur. “Inilah persamaan yang dilakukan oleh Gus Dur dan Fathullah Ghulen, dalam membangun kompatibilitas antara kebangsaan dan keagamaan,” imbuhnya.

Sayangnya, Erdogan belakangan terjebak sejumlah persoalan sehingga sejumlah analis pada awal tahun 2016 sudah memperkirakan kemungkinan terjadinya kudeta. Salah satu sebab utamanya adalah keterlibatan Turki pada konflik Suriah yang menimbulkan banyak problem. Turki berkepentingan di Suriah karena di sana ada milisi Kurdi yang ingin memisahkan diri dari Turki. 

Dukungan Erdogan terhadap pemberontak di Suriah, yang juga disokong oleh Saudi Arabia dan Amerika Serikat ini akhirnya menjadi problem setelah munculnya ISIS.  

“Permainan-permainan internasional ini bisa menjebak, seperti menembak pesawat Rusia yang dilakukan oleh Turki. Backing AS ini tidak seterusnya, jika kondisi berubah, ia bisa dicampakkan. Siapapun sadar sepenuhnya, jika AS dan Eropa tidak suka dengan kebangkitan Islam,” paparnya.

Masduki yang merupakan mantan anggota DPR RI ini menambahkan, Fethullah Gulen adalah salah seorang penggerak tarekat, murid dari Said Nursi yang sangat tulus dalam gerakan keagamaannya. Di sisi lain, kelompok Islam kanan, kelompok yang dalam bingkai Ikhwan dan gerakan Wahabi memahami Fethullah Gulen sebagai agen CIA dan agen Zionis. Menurut mereka beasiswa-beasiswa yang diberikan oleh jaringan Gulen di seluruh dunia dibiayai oleh zionis.  (Mukafi Niam)