Nasional

Kementerian Agama Minta Masukan PBNU Terkait Penyatuan Kalender Hijriyah

Kamis, 14 Mei 2015 | 09:00 WIB

Jakarta, NU Online
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin beserta jajarannya bersilaturrahim ke kantor PBNU Jakarta Pusat, Kamis (14/5), untuk menerima masukan terkait upaya penyatuan kalender hijriyah. Rombongan menteri disambut langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Ketua Lajnah Fakakiyah PBNU KH A. Ghazalie Masroeri beserta pengurus lainnya.<>

“Kami tidak hanya mengakomodasi namun juga menindaklanjuti tuntutan yang besar dari masyarakat agar adanya penyatuan kalender Hijriyah di Indonesia,” kata Lukman Hakim Saifuddin dalam pertemuan bertajuk ‘Silaturrahim dan Muzakarah Penyatuan Kalender Hijriyah di Indonesia.’

Sebelumnya Kementerian Agama telah bersilaturrahim ke kantor pusat PP Muhammadiyah di Yogyakarta untuk tujuan yang sama. “Kita ingin adanya cara pandang yang sama, dengan demiian hasilnya nanti juga sama,” katanya.

Menteri Agama menegaskan, tidak hanya umat Islam di Indonesia yang ingin adanya penyatuan kalender hijriyah. Negara-negara yang tergabung dalam MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura), negara-negara di kawasan Asia Pasifik, bahkan Arab Saudi juga berharap adanya penyatuan kalender umat Islam di Indonesia. 

“Indonesia dengan karakteristiknya yang khas atau kita sebut sebagai Islam Nusantara ini dituntut untuk menyatukan perbedaan, terutama dalam hal penentuan awal bulan Hijriyah,” kata Menteri yang didampingi Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof Dr Machasin dan jajarannya.

Ditambahkannya, Indonesia bukan negara Islam namun agama menjadi bagian dalam proses penyelenggarakan negara Indonesia. Negara melalui Kementerian Agama dalam hal tertentu harus ikut terlibat dalam kehidupan beragama rakyatnya terutama dalam hal yang berdampak luas seperti penentuan awal bulan Hijriyah.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj berharap bahwa cita-cita bersama untuk menyatukan kalender Hijriyah di Indonesia bisa segera terealisasi. “Sudah lama kita terpolarisasi. Kalau di Timur Tengah, perbedaan awal bulan itu terjadi antar negara. Tapi di sini (Indonesia) satu negara bisa berbeda-beda,” katanya.

Dirjen Bimas Islam Prof Dr Machasin dalam kesempatan itu mengungkapkan adanya kemungkinan penyatuan kalender hijriyah, yakni ketika Muhammadiyah mau mengubah pusat hisab dari Yogyakarta ke Indonesia bagian timur seperti Sorong dan Merauke.

Seperti diketahui Muhammadiyah menetapkan standar yang cukup rendah dalam penentuan awal bulan dengan istilah wujudul hilal. Jika secara geografis pusat hisab atau perhitungan astronomis Muhammadiyah ditarik ke Indonesia bagian timur, maka diperkirakan pada saat tenggelam matahari di Indonesia bagian barat posisi hilal sudah cukup tinggi sehingga telah memenuhi kriteria visibilitas pengamatan (imkanur rukyat) dan bisa dilakukan obvervasi (rukyatul hilal) kemudian diterapkan untuk seluruh wilayah Indonesia. (A. Khoirul Anam)