Nasional

Keseriusan Semua Pihak Dibutuhkan untuk 'Bersihkan' Lingkungan Masjid dari Radikalisme

Rabu, 28 November 2018 | 11:25 WIB

Jakarta, NU Online
Temuan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) mengenai masjid 41 masjid yang terindikasi menyebarkan paham radikalisme menjadi pembicaraan publik setelah diangkat oleh stasiun televisi swasta. 

Penelitian terhadap 100 masjid milik pemerintah di Jakarta pada yang digelar tahun 2017 lalu menganalisis isi khotbah Jumat empat kali berturut-turut dalam rentang waktu 29 September-20 Oktober 2017. Dari 35 masjid di lingkungan kementerian, 28 masjid di lembaga negara, dan 37 masjid di badan usaha milik negera (BUMN), ditemukan 41 masjid terindikasi paham radikalisme. 

Dewan Penasehat P3M Agus Muhammad mengungkapkan, hasil riset itu telah dirilis ke publik dan  masalah itu mendapat respon yang cukup baik, terutama dari pemerintah. Namun pihaknya tidak tahu persis apa yang telah dilakukan pemerintah untuk menyikapi hasil penelitian tersebut. 

Menurutnya fenomena ini membutuhkan keseriusan yang lebih dari berbagai kalangan untuk 'membersihkan' masjid dari paham radikalisme dengan melakukan pendampingan, monitoring, dan pembinaan.
  
Walau begitu ita tak menutup mata dari program pemerintah misalnya membangun hubungan intensif dengan takmir masjid belakangan ini. Menurutnya itu adalah upaya yang bagus untuk menetralisir radikalisme di masjid-masjid di lingkungan pemerintahan. 

Namun itu tidak cukup karena untuk membersihkan masjid dari radikalisme butuh proses panjang. “Mengubah sesuatu yang radikal menjadi tidak radikal, bukan pekerjaan sederhana. Kita meski sabar mendampingi masjid-masjid terpapar radikalisme. Soalnya radikalisme isu sensisitf di satu sisi, di sisi lain komplek. Karena itu pendekatan dan inisiasi kita harus benar-benar fix dan hati-hati terhadap masjid, jamaah, khatib. Itu penting agar jangan sampai melahirkan masalah baru,” papar Agus.
 
Pada kesempatan itu Agus menjelaskan bahwa survei yang dilakukan P3M tahun lalu berdasarkan isi khutbah Jumat, bukan takmir atau penceramahnya. Survei itu dengan mengutus relawan untuk merekam suara khutbah dalam bentuk rekaman audio visual dan video. Dengan begitu suara itu memang benar suara yang ada di video sehingga hasilnya valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
 
Dari situ, lanjut Agus, P3M melakukan analisis isi khutbahnya saja, bukan takmir, bukan penceramah, sehingga pihaknya tidak tahu siapa khatib dalam rekaman tersebut. Untuk mendalami hasil survei itu tentunya butuh pendalaman. Namun paling tidak, hasil survei itu bisa menjadi peringatan bagi pemerintah agar peduli terhadap masjid yang berada di lingkungan pemerintahan.
 
“Jangan sampai masjid-masjid itu dilepas bagitu saja dari pengendalian pemerintah. Istilahnya jangan sampai masjid diperlakukan seperti toilet. Airnya jalan, lantai bersih, semua berfungsi baik, tapi tidak pedulil siapa yang memakai, bagaimana cara memakainya. Itu berbahaya karena masjid bisa digunakan hal-hal yang tidak bisa dibayangkan. Salah satunya ya radikalisme itu,” jelas Agus.
 
Sejak dimunculkan lagi hasil survei ini oleh BIN beberapa pekan lalu, beberapa upaya antisipasi segera akan dilakukan. Salah satunya Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang berencana akan menyusun kurikulum khutbah. Agus mengaku mendukung rencana ini dan P3M dengan senang hati bila diajak bergabung dalam menyusun materi khutbah tersebut. Apalagi saat ini pihaknya memang sedang membuat agenda kecil terkait hal itu dan itu butuh inisiasi dari pemerintah.
 
“Saya kira penting bagi pemerintah untuk memberikan porsi kepada takmir masjid, misalnya dengan memberikan rambu-rambu yang perlu ditekankan kepada setiap khatib dan topik yang disampaikan jangan diserahkan ke khatib, tapi sebaiknya dipilih atau ditentukan takmir masjid. Dengan begitu setidaknya takmir masjid berkontribusi dalam proses penyampaikan proses khutbah Jumat,” terang Agus Muhammad.
 
Meski belum melakukan riset pendalaman lagi, Agus menegaskkan dampak dari isi khutbah yang cenderung berisi radikalisme ini sangat berbahaya. Pasalnya, jamaah masjid di lingkungan kantor pemerintahan dan BUMN, rata-rata tidak punya basis keagamaan yang kuat sehingga mereka akan langsung mengambil kesimpulan dan refernesi bagi tindakan, sikap dia terhadap orang lain dan kelompok berbeda.
 
“Dampaknya sangat besar, tapi itu tidak terlalu siginifikan bagi jamaah yang punya sisi keagamaan yang kuat, dan itu tidak terlalu banyak. Berbeda dengan masjid yang ada di kota santri atau lingkungan yang memiliki tradisi agama yang kuat,” pungkas Agus. (Ahmad Rozali)