Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan bahwa umat Islam pada umumnya memiliki kewajiban untuk menghapuskan kemungkaran yang terdapat di muka bumi baik dengan tangannya, perkataannya dan hatinya sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW.
Namun ia mengingatkan agar tidak gegabah dalam bertindak menghilangkan kemungkaran. Sebagai langkah awalnya, tentu mengetahui jenis kemungkaran-kemungkaran tersebut.
“Kita harus tahu kemungkaran itu. Maka harus mengupayakan menghilangkannya dengan tangannya,” katanya saat memberikan arahan saat Rapat Kerja Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Lantai 5, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Kamis (29/11).
Kemungkaran yang Kiai Said maksud bukan sekadar perilaku mungkar di diskotik atau di tempat lainnya, tapi juga kemungkaran yang tergolong ke dalam tiga jenis.
Pertama, mungkarot fil aqidah, atau kemungkaran dalam akidah; yakni aqidah yang tidak sejalan dengan tuntunan ahlussunnah wal jamaah al-nahdliyah. Oleh karena itu, Kiai Said berpesan pada LDNU dan Nahdliyin untuk terus menguatkan dan membela aqidah Aswaja An-Nahdliyah yang dibentuk oleh Imam Abil Hasan Al-Asy’ari.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan ini menjelaskan bahwa semua penulis sejarah perkembangan peradaban Islam pasti memuat Imam Asyari dan Imam Ghazali dalam tulisannya. “Semua dunia mengakui kualitas dan peranananya dan jasanya (Imam Asy'ari) dalam menyelamatkan Ahlussunah wal Jamaah,” terangnya.
Peninggalannya yang paling monumental adalah ‘Aqaid 50’ atau doktrin 50 sifat Allah dan Rasulullah dalam pandangan Asy’ari. Kiai Said lalu mengategorikan aqidah di luar Asy’ariyah sebagai munkarot aqadiyah atau aqidak-aqidah yang mungkar; seperti Wahabiyah, Syiah, Mu’tazilah, Jabariyah, Murjiah, dan sebagainya.
Kedua, munkarot fi al-syariah, yakni golongan yang selalu mengatakan tidak perlu bertaqlid, dan mengajak kembali langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah tanpa perantara pemikiran ulama. Hal tersebut, oleh Kiai Said disebut sebagai hal yang mustahil dan tidak mungkin dilakukan.
Menurutnya, para ulama terdahulu sudah membuat produk ijtihadnya sudah matang yang disebut sebagai ilmu fiqih. Tinggal bagaimana produk tersebut digunakan, diaplikasikan oleh masyarakat Muslim setelahnya.
Sebagai gambaran pentingnya taqlid, Kiai Said menggambarkan bahwa Imam Bukhari yang terkenal sebagai imam besar dalam bidang hadist bertaqlid pada mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih. “Mereka tidak tahu bahwa Imam Bukhari itu mengikut Mazhab Syafi'i,” jelas kiai asal Cirebon itu.
Ketiga, Munkarot fi al-hadarah, mungkar dalam budaya, atau meninggalkan kebudayaan lokal sama sekali. Ia menegaskan bahwa meskipun aqidah Islam berasal dari Arab, dan dalam shalat serta ayat Al-Qur’an pun berbahasa Arab tetapi, kita tidak bisa meninggalkan budaya Nusantara.
Agama Islam, jelasnya, dibangun di atas fondasi budaya. Hal ini membuat agama itu menjadi kuat dan budayanya tetap lestari. Mengutip pernyataan seorang ulama, Kiai Said menegaskan bahwa tidak boleh meninggalkan tradisi lokal setempat kecuali bertentangan dengan Syariat.
Dalam kesempatan tersebut, Kiai Said juga mengucapkan apresiasinya kepada para pengurus LD PBNU masa khidmat 2018-2020.
Rapat Kerja ini dihadiri oleh Rais Syuriyah PBNU KH Zaki Mubarok, Katib Am KH Yahya Cholil Staquf, Wakil Ketua Umum PBNU H Ma’shum Mahfoedz, Ketua PBNU H Eman Suryaman, H Umarsyah, Wasekjen PBNU H Andi Najmi. (Syakir NF/Ahmad Rozali)