Nasional

Kontroversi Hasil Revisi UU MD3, Ini Pandangan PBNU

Selasa, 13 Februari 2018 | 12:29 WIB

Kontroversi Hasil Revisi UU MD3, Ini Pandangan PBNU

Ketua PBNU Robikin Emhas

Jakarta, NU Online 
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Revisi Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) pada rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

Pada revisi UU MD3 itu, terdapat beberapa pasal yang dinilai kontroversial, di antaranya pasal 122 huruf (k), dan pasal 245.  Pada pasal 122 huruf (k), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dapat memidanakan orang, kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. 

Merespons hal itu, Ketua PBNU H Robikin mengaku khawatir terhadap ketentuan tersebut, baik dari sisi hukum maupun mekanisme cek and balance.

Menurutnya, dari sisi hukum, ketentuan tersebut melampaui batas kewenangan yang seharusnya dan berpotensi menimbulkan abuse of power. Sementara dari sisi mekanisme cek and balance, dinilai berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan pandangan politik parlemen. 

"Nah, ini kemunduran demokrasi yang sangat serius," ujarnya di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (13/2).

Ketentuan itu, lanjutnya, juga berpotensi bertentangan dengan konstitusi tentang kemerdakaan yang menyatakan pendapat. 

Mekanisme Pemanggilan Anggota DPR
Sementara pada pasal 245 yang mengatur tentang mekanisme pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum, Robikin menilai hal ini dapat menghambat percepatan penegakkan hukum. 

Menurutnya, satu dari tiga asas hukum yang penting dalam kasus pidana adalah proses hukum harus sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sementara kalau birokrasinya berbelit, maka berpotensi menghambat percepatan proses pengakkan hukum.

"(Oleh karena itu) Wajar kalau rakyat atau kelompok masyarakat hendak menguji beberapa ketentuan tentang UU MD3 ini ke Mahkamah Konstitusi," katanya. 

Namun demikian, ia berharap, respons publik terhadap revisi UU MD3 harus tetap dimuarakan pada sistem dan mekanisme yang berlaku dan tidak disalurkan melalui cara-cara jalanan.

"Cara untuk menyelesaikan perbedaan pandangan adalah ukuran keadaban kita dalam berbangsa dan bernegara," pungkasnya. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)