Nasional

Mahfud MD Jelaskan Tujuh Dugaan Penganiyaan Kiai

Rabu, 7 Februari 2018 | 11:02 WIB

Jakarta, NU Online
Pakar Hukum Mahfud MD menyampaikan pendapatnya tentang kasus penganiayaan terhadap tokoh agama yang belakangan ini terjadi. Menurut dia, pada sebuah program stasiun televisi swasta, Selasa (6/2), setidaknya ada tujuh dugaan penganiyaan terhadap kiai. 

Pertama, mungkin ada kaitannya dengan kejahatan politik yang pernah dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti yang dikatakan oleh Kivlan Zen, pada tahun 1948 dan 1963 sampai 1965. Namun, ia sendiri meragukannya mengingat pada tahun-tahun tersebut organisasinya jelas, sedangkan tahun ini tidak jelas.

Kedua, operasi intelijen untuk kegiatan politik agar masyarakat takut untuk melakukan kegaitan yang bersifat oposisi dengan pemerintah. Ketiga, adu domba antarumat. Hal ini terlihat dengan adanya tulisan ‘212’ di dada pelaku pada gambar yang beredar. Keempat, pelaku berpura-pura gila karena ingin membuat kekacauan.

“Pura-pura gila itu disuruh orang aja kira-kira,” katanya.

Kelima, pelaku gila sungguhan. Hal ini pernah terjadi pada Nyai Jamilah, Tebuireng. Ia dibunuh orang gila. Hal tersebut juga menimpa Rais Am PBNU 1981-1984 KH Ali Ma’shum sampai masuk rumah sakit. Sakitnya berlanjut hingga ia wafat.

Dugaan keenam, perselingkuhan. Hal ini pernah terjadi di Cibinong. Pembunuh kiai tersebut adalah selingkuhan istri sang kiai. Terakhir, dugaan guna pengamanan Pilkada. Isu yang berembus pelaksana tugas gubernur adalah polisi sehingga buat kekacauan lebih dulu.

“Biar nanti kita buat alasan Plt gubernur itu dari polisi,” ujar Guru Besar Univeristas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.

Dugaan tersebut berkembang di masyarakat. Hal tersebut mungkin benar, mungkin juga tidak. Tetapi, Mahfud meminta biarkan hukum diurus oleh polisi.

Politik Identitas
Publik sering terlibat dan melibatkan diri dalam politik adu domba. Politik identitas pun mencuat karena ketidakadilan yang diciptakan oleh mereka sendiri karena ketidakpeduliannya terhadap suku, agama, dan ras lainnya, misalkan.

“Politik identitas yang seperti ini, ini yang harus dihilangkan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik,” tegasnya. “Dan diharapkan juga kepada aparat keamanan, instansi pemerintah sipil maupun militer, sudah tidak suka atau tidak terjebak untuk melakukan operasi intelijen karena kepentingan orang tertentu,” ucapnya.

Karena beban psikologis dan politis sehingga peristiwa-peristiwa sebelumnya tidak terselesaikan, sebaiknya hal tersebut tidak lagi terulang. Oleh karena itu, Mahfud mengajak publik untuk membangun demokrasi. Meskipun demokrasi bukan sistem politik ideal, tetapi ia terbaik asalkan dijalani dengan baik. 

“Mari kita bangun demokrasi secara berkeadaban,” tegasnya.

Terakhir, Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013 itu meminta polisi sebagai aparat penegak hukum untuk benar-benar menegakkan hukum. Ia merasa, belum punya alasan kuat menuding polisi main-main dan terlibat dalam peristiwa tersebut.

“Tetapi kemungkinan-kemungkinan tadi, tujuh teori (dugaan) yang lahir dari diskusi ini karena pengalaman kita, saya kira harus diwaspadai,” tutupnya. (Syakirnf/Abdullah Alawi)